Brand dan Logo

Leave a comment

BRAND STORMING
Sesi Senja #17
Jumat, 23 Januari 2015
Mara Advertising

Ketika kita pertama kali berkenalan dengan seseorang, tentu yang kita perhatian pertama kali adalah penampilan fisiknya: wajah, gaya rambut dan pakaiannya. Setelah itu baru kita kenali dan perhatikan tutur kata dan gaya bicaranya. Baru kemudian kita lihat dan rasakan tingkah laku dan kepribadiannya. Dari semua itu kita lantas menyimpulkan apakah antara penampilan fisik, tutur kata dan tingkah laku/kepribadian itu ada konsistensi atau tidak .
Itulah brand…
Kata teman saya, brand itu seperti matahari. Ya, matahari yang bersinar setiap hari memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Ada yang berarti: panasnya, atau terangnya, warnanya, energinya, mitosnya, filosofinya dan sebagainya. Namun semua itu membentuk sebuah konsepsi yang utuh sebuah identitas yang diberi nama ‘matahari’ . Atau seperti sekuntum mawar: warnanya, baunya, durinya, kisahnya dan sebagainya.
Demikian pula dengan brand, terdapat banyak persepsi terhadap brand tergantung dari siapa yang melihat, apa profesi dan siapa orang tersebut. Namun hingga saat ini bahkan seorang profesional di bidang marketing sekalipun tidak dapat menjawabnya dengan sangat tepat, bahkan mereka menjawabnya menurut pendapatnya sendiri-sendiri.
Brand secara etimologi berasal dari kata ‘brandr’(bahasa Skandinavia kuno/North Germanic), yang artinya: ‘membakar’. Merujuk pada kebiasaan para pembuat barang masa itu untuk memberi tanda pada barang buatannya dengan cara membakar atau ‘dinyos’ dalam bahasa Jawa.
Brand merupakan persepsi, pengalaman, harapan, terhadap sebuah produk, jasa, pengalaman, personal ataupun organisasi. Merupakan gabungan dari berbagai atribut, baik secara nyata maupun tidak nyata, disimbolisasikan dalam merek dagang, dan apabila dikelola secara baik akan menciptakan nilai dan pengaruh .
Istilah brand sendiri dalam Kamus Inggris – Indonesia, artinya adalah ‘merek’. Namun jika kita memakai terjemahan ini pada pembahasan kita, maka kata brand akan kehilangan kompleksitas makna sebenarnya. Sehingga tetaplah memakai kata brand atau branding, karena kata ini telah dikembangkan menjadi sebuah terminologi sendiri dan dipakai secara internasional.
Brand sendiri itu tidak kelihatan, abstrak, belum berwujud. “Produk dibuat di dalam sebuah pabrik, namun sebuah brand diciptakan dalam benak (khalayaknya)” demikian kata Walter Landor.
Brand bisa dibayangkan namun masih perlu diwujudkan. Sebuah brand ibarat seseorang yang ingin tampil sebagai sesuatu, apakah menjadi seorang eksekutif yang santun, profesional. Atau seorang pria perlente, periang dan kaya raya. Atau seorang pria yang sedikit urakan dan hidup bebas.
Maka sebuah brand harus ditentukan brand essence-nya akan menjadi seperti apa di mata konsumen dan pasar. Brand essence adalah jiwa atau sesuatu yang esensial dari sebuah brand. Apakah ingin dianggap canggih, modern, tradisional, klasik, sophisticated, tangguh, fun dan lainnya. Misalnya: Energizer: “Tahan Lama”, Honda: “Hemat Bahan Bakar”.
Karena sebuah brand masih abstrak, maka konsepsi tersebut harus diwujudkan bagaimana cara sebuah brand menjadi seperti apa yang diinginkan oleh si pemilik brand (brand owner). Oleh karena itu seorang brand manager atau brand consultant harus melakukan brand activation dengan menyusun skenario brand architecture dengan mengetahui terlebih dahulu brand attribute dan brand asset dari brand tersebut. Aktivitas ini termasuk melakukan brand building dengan membuat brand blueprint terlebih dahulu.
Brand activation adalah pemaksimalan kinerja sebuah brand secara internal maupun eksternal dalam sebuah kegiatan yang terencana dan terintegrasi. Hal ini sering dihubungkan dengan kegiatan integrated marketing communication (IMC).
Sedangkan brand architecture adalah tata urutan atau hirarki sebuah brand yang mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Kadangkala diawali dengan masterbrand dan dijelaskan hubungannya dengan sub-brand dan co-branding. Ada beberapa scenario brand architecture: (1) monolitihic brand, atau satu brand tunggal yang dipakai di semua lini produk dan jasa, contohnya: Honda, Philips; (2) pluralistic brand, yaitu brand yang menggunakan banyak brand dalam setiap lini produk dan jasanya, biasanya parent brand atau masterbrand tidak terlihat, contoh: Mercedes-Benz dan Jeep Cherokee dari Daimler Chrysler; (3) sub-brand atau subsidiary, yaitu masterbrand yang digabung dengan brand lain, contoh: Microsoft Office, Adobe Photoshop; (4) endorsed brand, di mana terjadi sebuah sinergi antara nama produk dan masterbrand-nya, contoh: Dancow dari Nestlé, Indomie dari Indofood.
Brand attribute adalah keunikan fitur dari produk barang atau jasa tersebut. Misalnya: Garuda Indonesia dengan kualitas pelayanannya, Air Asia dengan tarif murahnya. Sedangkan brand asset adalah nilai yang terkandung dalam sebuah brand, termasuk di sini adalah brand association, brand awareness dan brand loyalty.
Karena brand seperti disebutkan di atas masih abstrak, maka ada beberapa cara untuk untuk mewujudkan brand atau dengan kata lain membuat brand tersebut terlihat secara fisik, antara lain dengan membuat brand identity/corporate identity dan visual identity, memilih brand ambassador, menciptakan brand personality, membuat juga brand story, menentukan brand tone and manner. Semua ini disusun di atas sebuah brand platform.
Sebuah brand dapat dibagi dalam dua wujud: intangible dan tangible. Brand yang berwujud intangible adalah nilai (value) yang terkandung dalam sebuah brand yang tidak berbentuk entitas nyata, misalnya: pengalaman akan brand tersebut, sensasi dan sebagainya. Sedangkan yang tangible adalah wujud brand yang berbentuk fisik dan dapat diakses oleh panca indera kita (dapat disentuh, dilihat, didengar atau dirasakan). Contohnya: produk atau kemasan (tangible brand attributes), properti, pabrik (tangible assets), kualitas yang terdapat dalam brand yang dapat muncul melalui pengetahuan dan pengalaman konsumen.
Brand identity yang dibuat untuk mewujudkan sebuah brand secara fisik adalah merupakan kesatuan yang kolektif dari nama, simbol, warna, kepribadian (‘tampilan’ dan ‘perasaan’) dari sebuah brand. Sedangkan corporate identity adalah identitas brand dari sebuah perusahaan yang terdiri dari identitas visual (nama, trade mark, tipografi, warna dan sebagainya) dan identitas verbal (slogan, tagline, ucapan salam, earcon ). Tujuannya adalah agar perusahaan mudah dikenali semua pihak dan sebagai sarana memahami sebuah perusahaan. Corporate identity ibarat pakaian bagi seseorang. Apa yang ia pakai adalah apa yang menjadi anggapan orang. Semua ini diwujudkan dalam sebuah visual identity atau identitas visual (representasi visual sebua brand termasuk logo, tipografi, kemasan, iklan, sign system, seragam dan sebagainya). Namun tentu saja corporate identity tidak membuat sebuah perusahaan atau produk yang bermutu rendah menjadi baik dalam seketika. Semua perlu dilakukan kegiatan yang menyeluruh untuk mewujudkan perusahaan atau produk yang berkinerja atau bermutu baik.
Sebuah brand juga dapat dihidupkan dengan membuat personifikasi melalui brand ambassador, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang ditunjuk mempromosikan sebuah brand dengan cara berinteraksi dengan pelanggan, calon konsumen, mitra maupun media. Biasanya citra dari dan kepribadian dari orang tersebut dapat diasosiasikan dengan brand yang diwakilinya. Misalnya: Dian Sastrowardoyo untuk Marie France Bodyline, Agnes Monica untuk shampoo Clear, Michael Jordan untuk Nike Air. Jika berwujud bukan orang (kartun, tokoh rekaan) maka kita sebut sebagai maskot. Contohnya: Energizer memakai kelinci, Chester Cheetah untuk Cheetos, Michelin memakai manusia ban. Hal ini juga bermanfaat untuk membantu menciptakan brand personality atau karakter brand yang dianalogikan seperti sifat manusia. “Brand adalah personifikasi dari produk, jasa ataupun perusahaan secara keseluruhan” demikian dikatakan oleh Robert Blanchard (mantan eksekutif P&G).
Jika perlu bisa dibantu lagi dengan menciptakan sebuah brand story seperti kata Scott Bedbury seorang yang turut mengantar kesuksesan brand Nike dan Starbuck: “Sebuah brand besar adalah sebuah kisah yang tak pernah selesai diceritakan. Sebuah brand adalah sebuah kisah metafora yang terhubung dengan sesuatu secara mendalam – sebuah apresiasi fundamental dari mitologi. Kisah ini menciptakan konteks emosi yang dibutuhkan masyarakat untuk menempatkan diri mereka di dalam pengalaman yang lebih besar”.
Orang sering kali mengira bahwa brand adalah logo saja secara fisik. Ada benarnya namun seperti yang telah dibahas di atas, brand tak cuma logo. Logo hanyalah wujud visual dari sebagian brand secara keseluruhan. Namun anggapan ini menunjukkan bahwa logo memiliki pengaruh yang sangat kuat di mata konsumen dan masyarakat. Indikasi ini juga menunjukkan bahwa logo menjadi wakil visual dari perusahaan di tengah konsumen, masyarakat bahkan pesaingnya.
Untuk menciptakan sebuah logo yang baik, tentu tak sekedar hanya mampu membuat visualnya saja. Namun harus didasarkan pada jiwa dari brand tersebut. Ibarat manusia: brand itu jiwanya dan logo adalah fisik badannya yang mana antara jiwa dan raga harus selaras. Jika tidak maka akan terjadi kekeliruan pandang dari konsumen atau masyarakat terhadap brand kita. Atau sebaliknya strategi brand yang sudah dibuat tidak terwujud pada logo yang kita buat.
David E. Carter seorang ahli corporate identity mengatakan bahwa citra perusahaan (corporate image) adalah kesan visual keseluruhan dari sebuah perusahaan. Semua perusahaan memiliki citra perusahaan. Sebagian besar citra perusahaan muncul dari identitas perusahaan (corporate identity) – yaitu logo atau merk perusahaan dan semua hal yang secara visual mengidentifikasi perusahaan tersebut, mulai dari kop surat hingga outdoor graphic yang besar. Banyak perusahaan mengabaikan pentingnya memiliki logo perusahaan yang baik dan juga mengabaikan konsistensi pemakaiannya untuk mewujudkan citra terbaik yang mungkin bisa diwujudkan.
Setiap perusahaan memiliki semacam dress code (baik tertulis maupun tidak) dengan maksud agar para karyawannya tampil sebagai orang yang sukses dan kompeten di mata masyarakat. Meskipun begitu masih ada perusahaan-perusahaan yang sama yang memiliki corporate identity yang biasa-biasa saja justru sebaliknya perusahaan tersebut sebenarnya sangat dinamis.
Mengapa? Pada beberapa kasus, identitas perusahaan yang ada tersebut umumnya dibuat dengan begitu saja tanpa perencanaan. Misalnya si pemilik perusahaan baru meminta cukup minta bantuan pada percetakan untuk membuatkan kartu nama dan stationeri lainnya. Juga banyak logo perusahaan dibuat oleh para amatir atau dipilih dari kontes desain antar karyawan mereka.
Hal ini mirip dengan meminta sekretaris sebuah firma hukum untuk membuatkan sebuah kontrak hukum yang rumit atau membuat lomba antar karyawan untuk menyusun laporan pajak perusahaan. Hasil yang profesional harus dibuat oleh profesional di bidang corporate identity juga. Mengapa harus memberi perhatian terhadap corporate identity, seperti: logo, kop surat, truk, signage dan sebagainya? Masyarakat mengenal perusahaan dengan cara tidak langsung, seperti melalui iklan, logo, truk perusahaan, gedung kantor perusahaan dan lainnya. Citra visual inilah yang mewakili perusahaan Anda terhadap orang-orang yang tidak mengenal perusahaan secara langsung. Jika kesan pertama seseorang terhadap perusahaan itu negatif, maka jangan harap bisa menjual sesuatu terhadap orang itu .
Menurut David E. Carter ada beberapa kriteria logo yang baik: (1) original and destinctive, sebuah logo sebaiknya memiliki nilai kekhasan, keunikan dan daya beda yang jelas; (2) legible, yaitu mempunyai tingkat keterbacaan yang cukup tinggi meskipun diaplikasikan dalam berbagai ukuran dan media yang berbeda-beda; (3) simple atau sederhana dalam pengertian mudah ditangkap dan dimengerti dalam waktu yang relatif singkat; (4) memorable yaitu cukup mudah untuk diingat, karena keunikannya, bahkan dalam kurun waktu yang relatif lama; (5) Easily assosiated with the company, logo yang baik akan mudah dihubungkan/diasosiasikan dengan jenis usaha dan citra suatu perusahaan meskipun hal ini tidak selalu wajib; (6) Easily adaptable for all graphic media yaitu faktor kemudahan aplikasi logo, baik menyangkut bentuk, warna, maupun konfigurasi logo pada berbagai media grafis perlu diperhitungkan pada saat proses perancangannya agar tidak menimbulkan kesulitan dalam penerapannya. Atau dengan kata lain fleksibel dalam penerapan secara teknis. Namun tentu saja tak semua poin yang dikemukakan di atas bisa disetujui seluruhnya, karena seiring perkembangan jaman pendapat itu bisa berubah dan berkembang.
Secara visual logo juga merupakan simbol yang dibuat untuk menyatakan konsep brand yang abstrak tersebut. Simbol dipakai manusia untuk menyatakan sesuatu yang sulit untuk dinyatakan. Simbol sendiri adalah sebuah tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal pada seseorang. Simbol sendiri bersifat semaunya, maksudnya arti yang dikandung bersifat subjektif tergantung dari siapa yang memberi makna. Meski dibuat dengan memperhatikan relevansinya, sekali lagi simbol tetap menimbulkan intepretasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk memahami simbol diperlukan referensi dan pengetahuan yang luas.
Secara umum simbol yang ada pada logo berupa: bentuk, warna dan tipografi. Terdapat beraneka bentuk dasar (basic shapes/primitive shapes) yang dapat dipakai sebagai simbol: lingkaran, garis, persegi dan kurva. Demikian juga warna: mulai dari merah hingga ungu, hitam, putih maupun abu-abu. Juga jenis dan ekspresi huruf menimbulkan kesan dan karakter tertentu yang banyak sekali jenisnya.
Lingkaran dapat diartikan kesempurnaan, keabadian, alam semesta atau persatuan, namun ada juga yang menganggap sebagai ketidakstabilan. Warna merah memiliki makna gembira, gairah atau kecepatan namun juga bisa berarti amarah. Demikian juga dengan jenis huruf: huruf berbatang tipis berkesan eksklusif namun juga bisa berarti kelembutan.
Maka, untuk membuat sebuah logo yang baik kita perlu memahami brand-nya terlebih dahulu.

Referensi:
Mendiola B. Wiryawan, Kamus Brand, Red & White Publishing, 2008
Surianto Rustan, Mendesain Logo, Gramedia, 2009
Madonna Gauding, The Signs and Symbols Bible, Octopus Publishing Group, 2009
Evelyn Lip, Desain dan Feng Shui, Elex Media Komputindo, 1995

Beberapa Pendekatan untuk Membuat Visualisasi

Leave a comment

dari: Advertising’s Fifteen Basic Appelas – Jib Fowles

Dalam risetnya Jib Fowles mengatakan bahwa untuk membuat visualisasi iklan kita bisa memakai pendekatan kebutuhan dasar manusia. Daftar yang dibuat Fowles ini didasarkan pada daftar yang pernah dibuat oleh Henry A. Murray.

Dalam membuat visualisasi kita dapat membuat berdasarkan beberapa pendekatan yang menjadi kebutuhan-kebutuhan (need) manusia. Ada sedikitnya 15 macam kebutuhan (need) yang biasanya disentuh dan dipergunakan untuk menimbulkan kesan emosi konsumen:

  1. Kebutuhan seks. Iklan yang produknya berhubungan langsung dengan masalah seks ataupun tidak sering mempergunakan simbol, idiom serta isyarat seksual baik secara verbal, non verbal maupun visual.
  2. Kebutuhan untuk bergabung dengan orang lain (afiliasi). Pada need yang ini biasanya tema yang digambarkan adalah tentang persahabatan atau sebaliknya kehilangan persahabatan bila tidak mempergunakan produk tersebut.
  3. Kebutuhan untuk merawat. Sebagai sentral tokohnya biasanya adalah mempergunakan figur anak kecil atau binatang peliharaan (domestic animals) seperti anjing, kucing atau burung. Ini dimaksud untuk membangkitkan insting keibuan atau kebapakan.
  4. Kebutuhan akan bimbingan. Visualisasinya biasanya mempergunakan figur orangtua (ayah dan ibu) atau guru.
  5. Kebutuhan agresivitas. Pada dasarnya setiap manusia secara tidak sadar memiliki insting untuk melakukan hal-hal yang sifatnya agresif. Keinginan balas dendam biasanya menjadi tema iklan.
  6. Kebutuhan berprestasi. Iklan tersebut biasanya berkisah tentang sebuah kesuksesan.
  7. Kebutuhan mendominasi. Biasanya bertema tentang unjuk kekuatan baik fisik maupun kekuatan tertentu.
  8. Kebutuhan untuk menonjolkan diri. Kebutuhan ini biasanya berbentuk kebutuhan untuk dihargai, dihormati dan menempati status sosial yang tinggi.
  9. Kebutuhan diperhatikan orang lain. Tema yang ditampilkan biasanya adalah bagaimana seseorang menjadi pusat perhatian publik.
  10. Kebutuhan mandiri. Pada dasarnya manusia ingin hidup tidak tergantung pada orang lain. Maka tema yang ditampilkan adalah tema-tema yang ada hubungannya dengan kemandirian hidup.
  11. Kebutuhan untuk melarikan diri. Tema-tema yang ditampilkan adalah petualangan atau perjalanan yang kadang sifatnya khalayan.
  12. Kebutuhan merasa aman. Tema terbebas dari ancaman atau bahaya.
  13. Kebutuhan estetika. Manusia pada umumnya menyukai keindahan, maka tema yang dipakai ini biasanya mengenai segala sesuatu tentang keindahan, baik itu misalnya keindahan alam, kecantikan wanita, seni dan sebagainya.
  14. Kebutuhan untuk memuaskan rasa ingin tahu. Visualisasi yang ditampilkan biasanya berupa informasi kognitif misalnya diagram, angka, jumlah prosentase dan sebagainya.
  15. Kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisik manusia adalah terbebas dari rasa lapar, haus dan mengantuk maka temanya adalah melepaskan dahaga, makan, kesegaran fisik dan tidur yang nyenyak.

Apa itu Corporate Identity dan Mengapa Begitu Penting?

3 Comments

diterjemahkan dari: David E. CarterDesigning Corporate Identity Programs for Small Corporations

Citra perusahaan (corporate image) adalah kesan visual keseluruhan dari sebuah perusahaan. Semua perusahaan memiliki citra perusahaan. Sebagian besar citra perusahaan muncul dari identitas perusahaan (corporate identity) – yaitu logo atau merk perusahaan dan semua hal yang secara visual mengidentifikasi perusahaan tersebut, mulai dari kop surat hingga outdoor graphic yang besar.

Banyak perusahaan mengabaikan pentingnya memiliki logo perusahaan yang baik dan juga mengabaikan konsistensi pemakaiannya untuk mewujudkan citra terbaik yang mungkin bisa diwujudkan.

Setiap perusahaan memiliki semacam dress code (baik tertulis maupun tidak) dengan maksud agar para karyawannya tampil sebagai orang yang sukses dan kompeten di mata masyarakat. Meskipun begitu masih ada perusahaan-perusahaan yang sama yang memiliki corporate identity yang biasa-biasa saja justru sebaliknya perusahaan tersebut sebenarnya sangat dinamis.

Mengapa? Pada beberapa kasus, identitas perusahaan yang ada tersebut umumnya dibuat dengan begitu saja tanpa perencanaan. Misalnya si pemilik perusahaan baru meminta cukup minta bantuan pada percetakan untuk membuatkan kartu nama dan stationeri lainnya. Juga banyak logo perusahaan dibuat oleh para amatir atau dipilih dari kontes desain antar karyawan mereka.[1]

Hal ini mirip dengan meminta sekretaris sebuah firma hukum untuk membuatkan sebuah kontrak hukum yang rumit atau membuat lomba antar karyawan untuk menyusun laporan pajak perusahaan. Hasil yang profesional harus dibuat oleh profesional di bidang corporate identity juga.

Mengapa harus memberi perhatian terhadap corporate identity, seperti: logo, kop surat, truk, signage dan sebagainya? Masyarakat mengenal perusahaan dengan cara tidak langsung, seperti melalui iklan, logo, truk perusahaan, gedung kantor perusahaan dan lainnya. Citra visual inilah yang mewakili perusahaan Anda terhadap orang-orang yang tidak mengenal perusahaan secara langsung. Jika kesan pertama seseorang terhadap perusahaan itu negatif, maka jangan harap bisa menjual sesuatu terhadap orang itu.

[1] Saya dengar logo Krakatau Steel adalah ciptaan dari salah satu sopir truk perusahaan tersebut. Diawali dari coret-coret di badan truk dengan menuliskan inisial KS dan lantas diakui sebagai logo perusahaan.

Komunikasi Visual

2 Comments

Perihal Komunikasi

Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pernyataan antar manusia. Sedangkan yang dinyatakan adalah pikiran ataupun perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyampainya. Dalam istilah komunikasi, pernyataan tersebut dinamakan: pesan. Pihak yang menyampaikan pesan disebut penyampai pesan (komunikator) dan pihak yang menerima pesan disebut penerima pesan (komunikan).

Pesan tersebut disampaikan melalui media dan dengan maksud tertentu. Sedangkan yang disebut sebagai media di sini adalah segala perantara penyampaian pesan tersebut. Karena bagaimanapun juga sebuah pesan tak akan tersampaikan jika tidak ada perantaranya yang mengantarkan dari penyampai pesan kepada penerima pesan. Lantas dengan maksud tertentu, artinya bahwa seseorang menyampaikan sesuatu pesan kepada orang lain, tidak mungkin jika tiada maksud. Pasti ada maksud tertentu dan bisa apapun.

Jika ditegaskan sekali lagi maka komunikasi berarti proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui suatu media dengan maksud tertentu.

Jika ditelaah sekali lagi maka pesan komunikasi terdiri dari dua aspek: (1) isi pesan (content of the message) (2) lambang (simbol). Sehingga isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, dan lambang adalah bahasa.[1]

Komunikasi Visual sebagai Pesan Nonverbal

         Komunikasi nonverbal secara umum dipahami sebagai proses komunikasi dengan cara mengirim dan menerima pesan di luar kata-kata dan tulisan (yang disebut pesan verbal). Beberapa pesan dapat disampaikan melalui gesture (gerak tubuh), bahasa tubuh atau postur, ekspresi wajah dan kontak mata. Obyek atau benda-benda juga bisa dipakai sebagai sarana komunikasi nonverbal seperti pakaian, gaya rambut dan hingga arsitektur, simbol dan infografis.

Pidato atau pembicaraanpun juga mengandung unsur komunikasi nonverbal yang dikenal sebagai paralinguistik, termasuk kualitas suara, emosi dan gaya bicara seperti halnya pada ciri-ciri prosody yaitu: ritme, intonasi dan tekanan. Teks tertulispun juga memiliki elemen nonverbal seperti tipografi, gaya tulisan tangan, jarak antar kata atau pemakaian emoticon.

Namun, beberapa studi mengenai komunikasi nonverbal difokuskan pada interaksi langsung (face to face) di mana bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian: keadaan lingkungan di mana komunikasi dijalankan, karakter fisik dari penyampai pesan dan perilaku penyampai pesan selama berinteraksi.

Ada beberapa pembagian pesan nonverbal, meski belum ada kesepakatan di antara para ahli komunikasi. Salah satunya adalah menurut Leathers[2] yang membaginya ke dalam tiga kelompok besar: nonverbal visual (kinetic, proxemic dan artifactual), nonverbal auditif (paralinguistic dan auditory), nonverbal nonvisual nonauditif (tactile/tactual, olfactory).

 gestural

Pesan fasial, gestural dan postural yang muncul dalam bahasa tubuh.

         Pesan kinetic adalah pesan yang menggunakan gerakan tubuh yang terdiri dari: pesan facial, pesan gestural dan pesan postural. Pesan fasial menggunakan ekspresi wajah untuk menyampaikan pesan tertentu baik sengaja maupun tidak. Sedangkan pesan gestural adalah mempergunakan gerakan badan atau anggota badan untuk menyampaikan berbagai pesan. Sementara pesan postural adalah pesan yang berkenaan dengan sikap keseluruhan badan (dalam keadaan berdiri, duduk, tidur dan lainnya).

Pesan proxemic adalah pesan yang disampaikan melalui jarak dan ruang atau penggunaan ruang personal dan sosial. Semakin dekat jarak antar dua pelaku komunikasi maka bisa diterima sebagai ungkapan kedekatan personal.

 proxemic

Jarak dan ruang antar pribadi menunjukkan pesan tertentu.

         Pesan artifactual diwujudkan melalui benda-benda karya manusia seperti: pakaian, asesoris, rambu, tipografi, gambar dan lain sebagainya.

   rambu

Benda-benda buatan manusia sebagi pesan artifactual.

         Pesan paralinguistic adalah pesan yang berhubungan dengan cara mengucapkan (intonasi) pesan verbal. Ketika sebuah pesan yang sama namun diucapkan dengan intonasi yang berbeda maka bisa berbeda pula maknanya.

Sedangkan pesan yang auditory adalah pesan yang memakai bunyi yang timbul dari benda-benda yang ada. Misalnya: pedagang bakso menjajakan dagangannya dengan suara mangkuk bakso yang dipukul.

Pesan tactile adalah pesan yang disampaikan melalui perabaan. Sedangkan pesan olfactory adalah pesan yang disampaikan melalui bau-bauan.

Komunikasi visual termasuk salah satu bentuk penyampaian pesan nonverbal artifactual yang memanfaatkan unsur-unsur rupa (contoh: bentuk, warna, komposisi, lambang dan lain sebagainya). Bahkan bentuk komunikasi ini telah dikenal jauh sebelum manusia mengenal aksara, seperti Hieroglyph di Mesir, keping tanah liat dari Sumeria, lukisan di dinding gua Altamira Spanyol dan gua Leang-Leang Sulawesi.

 Moscow to New York

Bahasa visual untuk mengatasi kendala bahasa verbal

Antara Komunikasi Verbal dan Komunikasi Visual

Bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan kita menyandi peristiwa yang ada dalam bentuk kata-kata. Melalui bahasa, manusia mengkomunikasikan pemikirannya kepada orang lain dan menerima satu sama lain food for thought.

Meski demikian ada keterbatasan dalam bahasa: (1) terbatasnya jumlah kata untuk mewakili sebuah obyek, (2) kata-kata memiliki sifat ambigu dan kontekstual, (3) kata-kata mengandung resiko bias budaya.

Sementara ada beberapa fungsi dari komunikasi visual: (1) visual dapat berfungsi menterjemahkan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan oleh kata-kata, teks, naskah dan bisa juga sebagai pendukung teks, (2) visual sebagai representasi, (3) visual menggambarkan kenyataan yang sebenarnya (realitas), (4) visual dapat menggambarkan kesan tertentu dan menimbulkan citra tertentu, (5) visual sebagai daya tarik, (6) visual sebagai pemberi instruksional, (7) visual sebagai daya tarik tertentu.

Komunikasi Visual

Penglihatan merupakan indera yang memberi informasi yang cepat dan lengkap, diperkirakan bahwa 70% hingga 80% dari pengetahuan manusia diperoleh melalui indera mata[3]. Selain memanfaatkan mata sebagai sarana utama untuk memahami dunia, manusia menterjemahkan informasi yang diterima indera lain ke dalam kesan penglihatan. Dengan demikian dalam berbagai hal indera penglihatan berfungsi juga sebagai terjemahan indera yang lain.

Komunikasi visual adalah penyampaian pesan melalui bahasa rupa.

Dapat kita saksikan bahwa saat ini pemakaian visual untuk berkomunikasi semakin berkembang dan semakin baik. Kita hidup dalam media-media visual yang sangat cepat. Mulai dari yang dua dimensi statis hingga tiga dimensi dinamis. Visual-visual itu mengisi halaman surat kabar, majalah, buku, pakaian, billboard, layar komputer, layar handphone, televisi dan lain sebagainya. Salah satunya yang bisa menjadi penanda adalah: emoticon[4]. Para pemakai aplikasi mobile seperti Line, KakaoTalk, WhatsApp pasti sudah sangat akrab dengan bahasa visual seperti sticker dan emoticon yang lebih bisa mengekspresikan pesan. Hal ini terjadi semakin cepat pada satu dasawarsa terakhir. Tiada terasa kita telah berubah. Sesuatu yang belum pernah tejadi pada sejarah komunikasi massa sebelumnya. Kita telah menjadi sebuah komunitas yang dihubungkan secara visual.

    Stiker KakaoTalk Stiker Line

Sticker dari aplikasi Line dan KakaoTalk.

         Pernahkah terpikirkan oleh Anda, mengapa para pengendara/ pengemudi kendaraan bermotor berhenti di depan lampu lalu lintas yang menyala merah di persimpangan jalan? Mengapa mereka patuh ‘diperintah’ oleh sebuah lampu lalu lintas? (kecuali yang memang bandel atau ada polisi lalu lintas di situ). Lalu serentak mereka kembali menjalankan kendaraannya ketika lampu menyala hijau. Atau Anda para perempuan tak perlu jatuh malu hanya karena salah masuk ke toilet laki-laki di tempat umum?

 toilet.sign

Simbol untuk membedakan toilet pria dan wanita.

         Itulah salah satu bentuk dari komunikasi visual. Kita dapat melihat – walau kadang kita tidak sadari – betapa luar biasa efek komunikasi visual itu. Polisi lalu lintas berkomunikasi dengan para pengguna lalu lintas dengan mempergunakan lampu pengatur lalu lintas. Pengelola gedung mempersilakan kita masuk ke toilet yang benar sesuai jenis kelamin kita.

Meskipun manusia telah mempergunakan komunikasi tulisan dan verbal dalam kehidupan sehari-hari, namun komunikasi visual tetap memegang peranan penting dalam proses dan upaya penyampaian pesan. Komunikasi visual sebagai bentuk pesan verbal memiliki beberapa fungsi: (1) mengulang kembali pesan yang telah disampaikan secara verbal (repetisi), (2) menggantikan lambang-lambang verbal (substitusi), (3) menolak pesan verbal atau memberi arti lain dari pesan verbal (kontradiksi), (4) melengkapi pesan verbal (komplemen), (5) menegaskan pesan verbal (aksentuasi).

Dalam beberapa kasus, komunikasi visual lebih efektif dibandingkan jenis komunikasi yang lain. Pada keadaan perbedaan bahasa, keterbatasan literatur, ketiadaan teknologi komunikasi, hambatan cuaca, jarak ataupun situasi, maka komunikasi visual dapat dipergunakan di sini. Komunikasi visual bersifat universal, meskipun begitu tetap memerlukan konvensi/persetujuan untuk dapat sama-sama dipahami dan juga lingkup referensi yang sama.

Gerakan tangan untuk memandu pesawat terbang di landasan (marshaller).

Rambu lalu-lintas berlaku universal di seluruh dunia, petunjuk piktorial di bandara misalnya, mampu mengatasi masalah kendala perbedaan bahasa. Gerakan-gerakan tubuh menghasilkan pesan visual, kedipan lampu kode Morse dari kapal perang mampu mengatasi kendala jarak, asap merah atau peluru suar dari korban kecelakaan laut dapat mengatasi masalah penyampaian pesan dalam kendala cuaca dan geografis. Dalam situasi tidak boleh bicara maka dipakailah kode tangan dalam sepasukan tentara. Orang Indian Amerika memakai komunikasi visual berupa kepulan asap ketika belum ada teknologi canggih untuk berkomunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari sekarangpun kita juga banyak memanfaatkan komunikasi visual, baik sebagai penyampai pesan pokok maupun sebagai alat bantu, seperti pada interface komputer, televisi, majalah, iklan hingga proyektor LCD di ruang kuliah/seminar.

gambar-poison1 

Satu bahasa visual yang mewakili banyak bahasa.

 

Ragam Komunikasi Visual

Referensi:

–        Henry Dreyfuss, Symbol Sourcebook, McGraw-Hill Company, New York, 1972

–        Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001

–        Tim Penulis PS DKV ISI Yogyakarta, Irama Visual – Dari Toekang Reklame sampai Komunikator Visual, Jalasutra, Yogyakarta, 2009

–       Yongky Safanayong, Desain Komunikasi Visual Terpadu, Arte Intermedia, Jakarta, 2006


[1] Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 28.

[2] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal. 289

[3] Paul Laseau, Graphic Thinking for Architects & Designers, 1980.

[4] Emoticon = emotion + icon. Tercatat sebagai orang pertama yang menggunakan emoticon adalah Scott Fahlman, seorang ahli komputer dari Universitas Carnegie Mellon, Amerika Serikat. Dia mengirim e-mail ke universitasnya yang berisi usulannya mengenai simbol untuk membedakan mana pesan yang serius dan mana pesan yang tidak serius/bercanda. Simbol itu adalah:   🙂   (tidak serius) dan   😦   (serius).

Iklan Sabun Mandi Bunuh Karakter

Leave a comment

Iklan Sabun Mandi Bunuh Karakter

Artikel di harian Kompas Minggu, 1 Desember 2013 halaman 3.

PERKEMBANGAN METODOLOGI DESAIN

6 Comments

Telaah mengenai metodologi desain dimulai antara dasawarsa 1950 sampai I960-an, diawali negara-negara industri maju, terutama Inggris dan Amerika

Diawali dengan pelaksanaan beberapa konferensi mengenai metode desain dalam waktu yang hampir bersamaan di Inggris, Amerika dan (saat itu) Czechoslovakia, yang kemudian beranjut dengan bergabungnya sejumlah pakar dan pemerhati sehingga menjadi suatu kelompok perintis yang mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran tentang metodologi desain (Jones, 1979).

Pada awalnya istilah design dan designing mengandung pengertian yang terbatas pada aktivitas para arsitek, ahli teknik dan para perancang bidang lain yang menghasilkan gambar yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pembuatan sebuah barang (karya desain) .

Melalui riset tentang masalah desain (1987), Axel von Saldem telah menemukan bahwa pada pada akhir abad 16 di Italia terdapat kata disegno interno yang berarti konsep untuk karya yang akan dilaksanakan, dan kata disegno esterno yang berarti karya yang sudah dilaksanakan (Burdek dalam Widagdo, “Estetika dalam Perjalanan Sejarah – Arti dan Peranannya dalam Desain”, Simposium Internasional Ilmu Desain, di ITB, 2005). Dari sinilah asal kata design atau desain. Yang jelas, dalam pengertian awal, kata desain selalu mengandung penekanan  pada dihasilkannya gambar rencana (drawing).

Permbangan mutakhir dunia yang semakin kompleks, inklusif dan terbuka, dengan aan kebutuhan hidup yang semakin beragam, menyebabkan aktivitas perancangan dan perencanaan atau desain tidak lagi bertujuan menghasilkan benda-benda kongkret yang bersifat fisik (tangible), melainkan juga meluas pada sesuatu yang bersifat konseptual bukan-fisik (intangible), antara lain sistem pola kerja, panduan kerja atau Term of Reference (TOR), pilihan alternatif kebijakan, dan lainnya. Format penampilannya, selain berbentuk gambar, juga berbentuk pertelaan tertulis, skema / diagram, model matematik, tabel, dan yang lainnya.

Metodologi desain terutama menelaah jalan pikiran yang menghasilkan konsep-konsep yang mendasari ditetapkannya suatu keputusan desain.

1. Pengertian Desain

Christopher Jones dalam buku Design Methods (1969) memaparkan pendapat beberapa pakar yang menaruh perhatian pada masalah desain dan metodologi desain, antara lain:

M. Asimow (Amerika Serikat, 1962)

Decision making in the face of uncertainty with high penalties for error (Pengambilan keputusan menghadapi ketidak-pastian dengan risiko tinggi bila melakukan kekeliruan).

Christopher Alexander (Amerika Serikat, 1962)

Finding the right physical components of a physical structure (Menemukan komponen fisik yang tepat untuk menciptakan suatu struktur fisik).

P.J. Booker (Inggris, 1964)

Simulating what we want to make (or do), before we make (or do) it as many times as may be necessary to feel confident in the final result (Melakukan simulasi atas sesuatu yang ingin diciptakan atau dilakukan sebelum benar-benar menciptakan atau melakukan sesuatu yang diinginkan tersebut. Simulasi dilakukan berulang-ulang, sesering yang dianggap perlu sehingga dirasa yakin akan hasil akhirnya).

Bruce L. Archer (Inggris, 1965)

A goal directed problem-solving activity (Aktivitas atau upaya pemecahan suatu masalah yang dipandu oleh suatu sasaran yang telah ditetapkan).

J.B. Reswick (Amerika Serikat, 1965)

A creative activity – it involves bringing into being something new and useful that has not existed previously (Aktivitas kreatif yang di dalamnya terkandung penciptaan sesuatu yang baru dan bermanfaat yang sebelumnya tidak ada).

Christopherlones (Inggris, 1958)

The performing of a very complicated act of faith (Suatu upaya yang rumit yang menunjukkan tindakan dan sikap kesetiaan atau ketaatan).

J.K. Page (Inggris, 1963)

The imaginative jump from present facts to future possibilities. (Lompatan imajinatif atau maya dari suatu keadaan atau fakta yang ada menuju ke kemungkinan-kemungkinan yang dapat dicapai pada waktu yang akan datang.

E. Matchett (Inggris, 1966)

The optimum solution to the sum of the true needs of a particular set of circumstances (Solusi optimum atas sejumlah tuntutan kebutuhan nyata dari suatu keadaan tertentu yang diinginkan).

Imam Buchori Zainuddin, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (2005)

Upaya mencari inovasi dengan menciptakan suatu produk baru yang memenuhi kriteria (atau kondisi yang diinginkan), bersifat humaniora. Dalam hal ini bentuk menjadi tujuan.

Dalam bidang rekayasa: Upaya mencari inovasi dengan menciptakan suatu produk baru yang memenuhi kriteria efektivitas teknis dan berasaskan efisiensi. Dalam hal ini bentuk adalah akibat.

Tidak mudah untuk menarik kesimpulan yang dapat mengakomodasi pendapat semua pakar tersebut secara utuh. Namun secara umum dan sederhana, untuk keperluan telaah selanjutnya dalam tulisan ini dapat disimpulkan salah satu pengertian aktivitas desain sesuai dengan pendapat Christopher Jones: The initiation of change in man-made things / Upaya melakukan perubahan pada barang-barang ciptaan manusia (C. Jones, Design Methods, 1969, ha1.6).

Lingkup Keahlian pesain dan Organisasi Profesi

Desain dalam pengertian visual (keseni-rupaan) meliputi tiga bidang utama, yaitu Desain Produk, Desain Komunikasi Visual (Desain Grafis), dan Desain Interior. Hal ini tercermin pada struktur bidang studi di banyak perguruan tinggi bidang desain yang membedakannya dari bidang studi Seni Rupa Murni (Fine Art) dan Kria (Craft).

Ada tiga organisasi profesi tingkat international bidang desain, yaitu:

ICOGRADA (International Council of Graphic Design Associations),

ICSID (International Council of Societies of Industrial Design), dan

IFI (International Federation of Interior Architects / Interior Designers).

Pada tahun 1983 ketiga organisasi profesi ini melaksanakan kongres gabungan di kota Hamburg (saat itu Jerman Barat). Kongres ini menghasilkan berbagai ketetapan berkaitan dengan aktivitas profesi desain. Salah satunya adalah Kode Tata Laku Profesi Desainer (Professional Code of Conduct). Kode tata laku ini berlaku bagi semua desainer yang tergabung dalam ketiga asosiasi profesi tersebut, termasuk desainer Indonesia.

Kode tata laku ini mengatur atau memberi rambu-rambu tanggung jawab moral bagi para desainer yang meliputi:

Tanggung jawab terhadap lingkungan

Tanggung jawab terhadap klien

Tanggung jawab terhadap desainer lain

Tanggung jawab terhadap honorarium (design fee)

Tanggung jawab terhadap kompetisi/sayembara

Tanggung jawab terhadap publikasi.

KATEGORI METODOLOGI DESAIN

Secara umum metode desain dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Metode Desain Konvensional dan Metode Desain Baru, yang tidak konvensional. Metode desain konvensional meliputi Metode Evolusi Kria atau Metode Vernakular (Vernacular) dan Metode Merancang dengan Gambar (Design by Drawrng).

Metode Evolusi Kria (Metode Vernakular)

Kria atau craft adalah suatu produk yang dibuat dengan menggunakan alat-alat sederhana yang mengutamakan ketrampilan tangan melalui proses kerja bersifat industri rumah. Barang yang dihasilkan memiliki kegunaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pelaksana kria dikenal sebagai perajin.

Pada metode evolusi kria, perancangan dan pembuatan barang dilaksanakan secara terpadu dalam satu proses yang dikerjakan secara individual oleh satu orang dan dengan tanggung jawab pribadi. Manusia menjadi titik sentral dari proses produksi.

Beberapa ciri metode ini antara lain:

Perajin kria tidak pernah atau sering tidak mampu menjelaskan pekerjaannya dengan gambar dan juga tidak mampu untuk memberikan alasan yang jelas atas keputusan desain yang diambil.

Produk akhir kria termodifikasi melalui proses pengerjaan berulang-ulang yang sangat sering serta mengandung proses percobaan dan kekeliruan (trial-and-error) selama berabad-abad.

Evolusi kria kadang-kadang menghasilkan komponen atau bagian dari produk yang tidak perlu atau tidak sesuai kebutuhan akan tetapi tetap muncul karena pelaksanaan pembuatannya bersifat duplikasi tradisional secara turun-temurun.

Tidak ada rekaman visual menyangkut bentuk keseluruhan produk serta alasan yang mendasari terjadinya bentuk tersebut sehingga tidak dapat diteliti kecuali dengan cara mengulang seluruh proses pembuatan produk itu dari awal.

Pada metode ini tidak dikenal peran desainer yang mandiri. Semua peran, mulai dari perancang, perencana, pembuat, bahkan kadang-kadang penjual, bergabung menjadi satu dalam diri satu orang, yaitu perajin.

Produk kria dapat menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat penggunanya dengan sangat baik, karena aktivitas kria umumnya hadir di tengah masyarakat akar rumput (grass root).

Metode Merancang dengan Gambar (Design by Drawing)

Proses merancang dengan gambar dilaksanakan menggunakan gambar dengan skala tertentu dan dilengkapi dengan model, pola, maket atau prototipe (mock-up) yang merupakan simulasi atau eksplorasi dari keadaan sebenamya. Dalam metode ini berlangsung proses trial-and-error bersifat simulasi melalui gambar dan terpisah dari proses produksi barang. Eksplorasi dan simulasi perancangan terutama menghasilkan gagasan serta usulan yang bersifat visual dan teknis. Metode ini menghasilkan beberapa keuntungan dan kemudahan dalam proses produksi barang, antara lain:

Dimungkinkan untuk memilah proses pelaksanaan pembuatan produk menjadi beberapa bagian yang masing-masing bagian dapat dikerjakan oleh pihak yang berbeda. Dalam hal ini terjadi pembagian kerja (division of labour).

Metode ini memungkinkan pelaksanaan pembuatan produk yang besar dan rumit karena beberapa komponen pekerjaan dapat dilaksanakan oleh pihak yang berbeda. Hal seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dengan metode evolusi kria.

Pembagian kerja yang terjadi memungkinkan pengerjaan produk dengan jumlah lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat karena beberapa komponen pekerjaan dapat dilaksanakan secara simultan pada waktu yang bersamaan dan komponen-komponen ini kemudian dirakit (assembling) menjadi benda karya desain yang diinginkan.

Di samping keuntungan dan kemudahan, metode merancang dengan gambar juga mengandung kelemahan, yaitu bahwa di dalam proses perancangannya tidak mampu mendeteksi masalah sosial yang ditimbulkan oleh produk yang dihasilkan. Perkembangan metode merancang dengan gambar melahirkan desainer sebagai suatu profesi baru yang mandiri.

Produk akhir yang dihasilkan metode ini adalah gambar (drawing). Pada hakikatnya pada metode-metode desain baru yang tidak konvensional, produk akhir yang dihasilkan juga meliputi gambar. Hal yang membedakannya dari metode desain konvensional adalah bahwa pada proses pemikiran dan eksplorasi serta pengujian konsep yang akhirnya menghasilkan (antara lain) gambar yang siap dilaksanakan pembuatannya sehingga menjadi barang.

Tercatat dalam sejarah bahwa Brunelleschi (1377 – 1446), seorang arsitek / desainer Italia, yang pertama menggunakan metode desain ini ketika dia meng-gambar rancangan arsitekturnya sebelum dilaksanakan serta merancang berbagai peralatan yang diperlukan untuk membangun gedung yang tinggi, di antaranya sistem derek (crane). Brunelleschi, dan Alberti mengembangkan teknik meng-gambar proyeksi untuk rancangan arsitekturnya. Teknik-teknik ini kemudian berkembang menjadi teknik menggambar perspektif. Dengan demikian teknik menggambar arsitektur pada abad ke 14 ini menjadi cikal bakal dari teknik menggambar rancang bangun yang kita kenal sekarang (Widagdo, Desain dan Kebudayaan, 2005 hal. 76 – 77).

Metode Desain Baru

Metodologi desain mulai berkembang secara signifikan sejak dasawarsa 1960-an (Imam Buchori 2004), dan memunculkan banyak metode baru bidang desain. Terdapat kesamaan yang merupakan ciri dari semua metode baru ini, yaitu adanya upaya membuat jelas kepada publik atas isi pikiran desainer dengan mengeksternalkan proses pemikiran dalam mendesain suatu barang. Metode-metode ini dipergunakan untuk menelaah segala hal yang mendasari keputusan desain. Demikian juga untuk menilai kembali atau menguji suatu keputusan desain yang telah diambil. Ciri utama metode desain baru adalah sebagai berikut:

Berusaha membuat jelas kepada publik (stakeholder) isi pikiran desainer. Dengan kata lain mengeksternalkan proses pemikiran desain melalui kata-kata (deskripsi), simbol matematis ataupun diagram. Publik yang dimaksud adalah pemilik (owner), pelaksana pembuatan (producer), pengelola (operator) dan pengguna.

Terjadi pemisahan yang jelas antara proses pemikiran konsep dari benda yang akan dibuat dengan proses pelaksanaan pembuatan desain menjadi barang yang diinginkan.

Proses perancangan diurai menjadi komponen-komponen desain yang kemudian ditelaah satu per satu secara terpisah. Demikian juga dengan proses pelaksanaan pembuatan barang, yang diurai menjadi komponen-komponen pekerjaan pelaksanaan yang dikerjakan secara terpisah.

Desainer tidak lagi selalu individual melainkan juga kelompok. Dalam hal ini dikenal beberapa istilah, antara lain Kelompok Desainer, Design Team, Design Board. Dengan demikian kelahiran profesi desainer mandiri, yang diawali melalui metode merancang dengan gambar, semakin dipertegas.

Dibandingkan metode desain konvensional, pihak yang berkepentingan dengan hasil desain pada metode desain baru ini lebih luas, meliputi pemilik proyek (owner), pengelola (operator), pengguna (user), clan otoritas pembuat dan pelaksana peraturan (legislator).

Iklan: Dulu, Kini dan Esok dalam Perspektif Desain dan Strategi Komunikasi

Leave a comment


Tulisan ini sebagai materi pada acara Sesi Senja #1 – Mara Advertising, 5 April 2013

 

Periklanan di awal peradaban

         Kapan tepatnya manusia mengenal iklan tidak diketahui dengan pasti. Namun yang jelas prinsip-prinsip periklanan sudah dilakukan oleh manusia sejak ribuan tahun yang lampau. Jangan-jangan ketika setan membujuk Hawa untuk memakan buah terlarang itupun juga sudah merupakan penerapan prinsip periklanan: persuasif.

         Bukti-bukti aktivitas periklanan dapat kita temukan pada peninggalan-peninggalan bangsa Arab kuno. Sementara pada bangsa Mesir, peninggalan ini berupa papyrus yang berisi pengumuman mengenai barang-barang yang dijual,  pengumuman tentang datangnya kapal pembawa komoditas (anggur, rempah-rempah, logam dan barang-barang dagangan baru), acara-acara seperti pertarungan gladiator yang bakal digelar, budak yang lari dari tuannya dan lain-lainnya. Demikian hal yang sama ditemukan pada bangsa Yunani kuno dan Romawi. Kebanyakan iklan pada masa itu ditorehkan atau dipahatkan pada dinding-dinding bangunan, juga berupa papan nama tempat usaha dan bentuk lain berupa surat edaran. Karena baru sedikit orang yang bisa membaca, maka pengumuman tersebut dibacakan keras-keras oleh seorang town crier (juru teriak) yang didampingi pemain musik untuk menarik perhatian. Model seperti ini masih juga langgeng hingga jaman modern sekarang dan dikenal sebagai word of mouth (pesan yang disampaikan mulut ke mulut).

Image        

Pesan di atas papyrus.

Image

Signage tempat usaha di reruntuhan kota Pompeii (kanan).

 Iklan, Desain dan Seniman

         Keberadaan sebuah iklan tidak dapat dilepaskan dari peran para seniman yang membantu mewujudkan pesan-pesan komersial tersebut. Bisa jadi iklan merupakan tempat bertemunya dunia dagang, ilmu komunikasi dan seni. Pada mulanya para pedagang yang hendak memasarkan produknya meminta bantuan para seniman untuk mengkomunikasikan pesan-pesan dagangnya tersebut kepada khalayak. Maka dengan ketrampilannya, para seniman menciptakan iklan-iklan pertama mereka dalam berbagai bentuk: mulai yang ditorehkan di dinding, pada sign board atau papan nama tempat usaha hingga dalam bentuk lembaran poster. Seniman yang juga membuat visualisasi iklan bisa kita contohkan antara lain seperti: Henri de Toulouse-Lautrec (1864 – 1901) dan Jules Chéret (1836 – 1932), keduanya dari Perancis.

         Sementara visualisasi dari iklan-iklan yang dibuat oleh para seniman tadi, mau tak mau juga dipengaruhi oleh perkembangan gaya desain yang berkembang pada saat itu yang juga terpengaruh oleh pergerakan seni rupa pada masanya. Seperti karya Lautrec dan Chéret di atas memiliki gaya desain Art Nouveau. Gaya desain ini merupakan sebuah seni baru yang memiliki ciri khas gaya dekoratif flora (alam dan tetumbuhan) yang meliuk-liuk (distilasi dan diabstraksi). Gaya ini merupakan gaya seni rupa dan desain internasional yang pertama berlangsung dari tahun 1819 – 1914. Mula-mula gaya ini berkembang di Eropa dan Amerika sebagai reaksi atas industrialisasi yang dianggap menjauhkan sifat manusia dalam seni dan penciptaan barang-barang kebutuhan manusia. Art Nouveau sendiri masih memiliki akar dan ciri khas yang sama dengan gaya desain Art and Craft Movement yang dimulai di Inggris pada tahun 1870-an. Juga sebagai reaksi atas industrialisasi. Seperti yang telah kita ketahui bahwa masa itu (akhir abad ke-18 hingga 19) adalah dimulainya Revolusi Industri di Inggris. Pengaruh lain yang merasuk pada Art Nouveau adalah Pra-Raphaelitisme, ornamen Celtic dan cungkil kayu Jepang.

Image    Henri de Toulouse-Lautrec, poster Reine de Joie (Queen of Joy), iklan untuk buku dengan judul yang sama dibuat tahun 1892.


Image

Karyanya sebagai seniman lukis berjudul “Der Salon in der Rue des Moulins” (1894).

Sumber: Philip B. Meggs dan Alston W. Purvis, Meggs’ History of Graphic Design

dan Museum Toulouse-Lautrec.

            Art Nouveau berupaya menyatukan seni dan teknologi pada masa itu. Ornamen dihadirkan secara berlebihan untuk mengekspresikan seni ketrampilan tangan yang memiliki kandungan nilai emosi yang kuat terutama pada ukiran dan hiasan. Ciri khasnya antara lain: mengangkat alam sebagai referensi objek dengan keindahan dan harmoni, berdasarkan pada bentuk-bentuk geometrik yang alami, garis-garis mendominasi ruang sedangkan warna dan tekstur menjadi minoritas, menampilkan naturalis, simbolis, feminin, sensual dan keindahan garis-garis lengkung serta memakai tipografi yang berjenis dekoratif. Muncul nama lain yang sealiran Art Nouveau di Eropa : Jugendstil (Jerman), Vinna Secession (Austria), Glasgow School (Inggris), Stile Liberty (Italia), dan Modernista (Spanyol).

 

Image Karya Jules Chéret “Bal du Moulin Rouge” (1896).

Sumber: Philip B. Meggs dan Alston W. Purvis, Meggs’ History of Graphic Design. Karya Henri de Toulouse-Lautrec, poster untuk Aristide Bruant (1893).

Image

Nampak gaya Art Nouveau dengan pengaruh cetak saring Jepang terlihat pada siluet datar dan kurva garis yang tegas.

Sumber: Philip B. Meggs dan Alston W. Purvis, Meggs’ History of Graphic Design 

        Bagaimana dengan iklan di Indonesia pada saat itu? Kebanyakan rancangan iklan display dengan ilustrasi dan tipografi yang artistik yang dimuat di surat kabar di Hindia Belanda adalah hasil karya para desainer iklan yang didatangkan dari negeri Belanda. Desainer iklan yang terkenal masa itu adalah Frist Adolph Oscar van Bemmel, Is van Mens dan Cor van Deutekom. Mereka didatangkan atas biaya Bataafsche Petroleum Maatschappij dan General Motors yang membentuk divisi periklanan modern untuk mempromosikan produk-produk mereka pada tahun 1905 (Riyanto, 2000, hal. 80-81). Para desainer dari Belanda ini umumnya menerapkan gaya desain Art Nouveau dan Art Deco (yang merupakan sebuah gaya yang muncul belakangan dan masih ada pengaruh Art Nouveau). Beberapa desainer yang lain menerapkan gaya realis untuk alasan agar pesan mudah disampaikan. Oleh karena itu pengaruh gaya desain yang sedang melanda Eropa saat itu akhirnya sampai juga di Hindia Belanda. Bahkan pengaruh Art Nouveau dan Art Deco di Hindia Belanda/Indonesia sendiri jauh lebih lama terasa dibandingkan di Eropa sendiri.

         Kemudian berikutnya muncul gaya desain Plakatstijl (Poster Style). Gaya ini berawal dari sebuah gerakan poster di Berlin, Jerman, pada awal tahun 1890-an dan kemudian menjadi poster iklan komersial. Menghasilkan apa yang disebut sebagai Sachplakat (poster objek) dengan ciri khasnya adalah objek tunggal sebagai sentralnya, tipografi yang kuat namun tetap sederhana dan blok warna yang mencolok. Gaya ini mengambil nama dari majalah Das Plakat (1910 – 1921) yang menjadi tempat memajang karya-karya Plakatstijl ini. Para pencetusnya adalah Lucian Bernhard dan Hans Rudi Erdt. Plakatstijl sendiri merupakan sebuah gaya desain yang menjawab kesenjangan antara seni dengan industri melalui gaya desain yang fungsional. Dalam gaya ini simbolisme ditinggalkan dan beralih ke rasionalisme.

         Demikian juga yang terjadi di Indonesia, gaya desain dari Eropa juga masih terasa pengaruhnya pada iklan-iklan yang ada pada masa itu.

Image Pengaruh gaya Art Nouveau pada iklan yang ada di Hindia Belanda.

 

Image Karya Lucian Bernhard poster untuk iklan korek api Priester (1905) dengan gaya desain Plakatstijl.

Sumber: Philip B. Meggs dan Alston W. Purvis, Meggs’ History of Graphic Design

                 

Image Karya Lucian Bernhard poster untuk iklan sepatu Stiller (1912) dengan gaya desain Plakatstijl.

Sumber: Philip B. Meggs dan Alston W. Purvis, Meggs’ History of Graphic Design

 

 

Image      

Image

Gaya desain Art Deco dan Plakatstijl yang muncul pada iklan di Indonesia dengan bercirikan blok-blok warna.

   

Desain Iklan dan Teknologi

         Desain iklan juga sangat dipengaruhi oleh teknologi pada tiap masanya. Ketika fotografi belum banyak dipakai (karena baru saja ditemukan dan masih dalam pengembangan), maka visualisasi iklan umumnya memakai teknik ilustrasi gambar tangan (hand drawing). Sementara yang dimaksud dengan hand drawing sendiri adalah pembuatan ilustrasi dengan menggunakan ketrampilan tangan dan memakai alat gambar manual (pensil, cat, kuas dan sebagainya). Sehingga visual yang muncul seperti pada gaya Art Nouveau adalah hasil gambaran tangan.

         Meskipun sudah ada mesin cetak dengan kapasitas yang besar pada awal abad ke-19, namun umumnya masih menggunakan alat cetak hand press. Seperti yang terlihat dari berbagai desain cover buku, poster dan surat kabar, masih terlihat memakai ‘huruf deret’. Sebagai catatan, Linotype typesetting ditemukan pada tahun 1886 dan Monotype typesetting ditemukan pada tahun 1887. Penggunaan huruf seperti ini dalam periklanan dikenal sebagai iklan baris dengan cara membuat komposisi berbagai jenis huruf. Pada tahun 1870 barulah gambar atau ilustrasi mulai dipakai dalam media cetak, walau masih dalam bentuk piktograf atau simbol. Baru pada sekitar tahun 1880 mulai dikenal bentuk iklan surat kabar ataupun majalah yang mengandung unsur grafis seperti teks, ilustrasi, identitas usaha dan tata letak yang lebih modern antara lain iklan produk parfum dan perlengkapan rias merk Ed Pinaud buatan Perancis yang dimuat pada surat kabar Pemberita Betawi tanggal 9 Januari 1886, 5 November 1907 dan 5 Maret 1908 (Riyanto, 2000:132). Setelah masa itu teknologi percetakan juga mengalami perkembangan yang pesat sehingga meningkatkan pula kreativitas para desainer iklan. Ditandai dengan dikembangkannya mesin offset lithography di Amerika Serikat pada tahun 1904.

         Meski karya foto pertama sudah dibuat pada tahun 1826 oleh Joseph Nicéphore Niépce yang diberinya judul “View from the Window at Le Gras”, namun pemakaiannya untuk visualisasi iklan di dunia baru dimulai sekitar tahun 1920-an. Fotografi termasuk salah satu temuan penting pada abad pencerahan yang membawa perkembangan baru dalam seni rupa, desain dan tentunya periklanan. Sejak saat itu mulailah fotografi lebih banyak dipakai untuk visualisasi iklan. Salah satu alasannya adalah bahwa foto mampu menghadirkan realitas yang apa adanya dibandingkan hand drawing. Sehingga kehadiran sebuah foto sebagai ilustrasi iklan mampu lebih meyakinkan konsumen mengenai pesan yang disampaikan. Pada perkembangannya nanti, fotografi menjadi salah satu andalan visualisasi iklan.

         Ada suatu masa penggunaan foto montase menjadi tren, sebagai contoh seperti yang dilakukan oleh desainer Alexander Rodchenko dari Rusia pada tahun 1920-an.

 Image

Foto pertama di dunia (1826) dibuat oleh ilmuwan Perancis Joseph Nicéphore Niépce berjudul “View from the Window at Le Gras”

 

Image

   Image

Iklan rokok Camel (1930) dan Chesterfield (1930) memakai fotografi sebagai ilustrasi utamanya. 

 Image

Karya Alexander Rodchenko (1925).

Alan dan Isabella Livingstone, Encyclopaedia of Graphic Design + Designers

 

         Salah satu tonggak penting dalam perkembangan teknologi desain periklanan adalah instant lettering Letraset. Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1960 di Inggris, Letraset kemudian menjadi andalan bagi para desainer untuk visualisasi tipografi iklan. Instant lettering dipakai hingga awal tahun 1990-an ketika komputer grafis mulai dipakai. Terdapat berbagai macam jenis font dengan berbagai ukuran yang bisa dipakai langsung untuk lettering. Belakangan juga disediakan aneka gambar instan untuk berbagai keperluan, semacam clip art sekarang. Di Indonesia pemakaian instant lettering cukup populer, bahkan dikenal merk bikinan lokal yaitu Rugos dan Lega Pop yang harganya jauh lebih murah dibandingkan merk Letraset atau Mecanorma.

         Kemunculan komputer Apple Macintosh pada tahun 1984 untuk desktop publishing yang kemudian disusul dengan perkembangan pesat software grafis memungkinkan para desainer melakukan ekploitasi kreatif tanpa batas. Salah satu software yang fenomenal dan banyak mempengaruhi desain periklanan adalah Adobe Photoshop yang dirilis pada tahun September 1988. Kemudian muncul pula software untuk layout seperti Aldus PageMaker dan pengolah vektor Aldus Freehand yang mana semua itu kemudian mengubah cara kerja desain periklanan. Keberadaan komputer grafis ini menjadikan gaya visual yang dipakai pada iklan semakin beragam dan lebih multi-kultural serta lintas gaya yang sedang berkembang di berbagai belahan dunia. Untuk diketahui, pada dekade yang sama tumbuh pula biro-biro iklan besar nasional seperti: Matari, Citra Lintas, AdForce, Artek, IndoAd dan sebagainya. Juga pada masa yang sama terbentuk sebuah asosiasi desainer grafis (IPGI/Ikatan Perancang Grafis Indonesia) yang mana semakin menunjukkan keeratan antara desainer/seniman dan dunia iklan. Keberadaan perusahaan iklan multinasional dengan modal yang kuat turut memicu perkembangan gaya visual dalam iklan cetak yang semakin beragam, beberapa di antaranya memakai gaya Pop-Modern dan ‘Post-modern’ yang sedang populer di berbagai media cetak dunia.

 

 Image   Instant lettering dengan merk legendaris Letraset untuk memenuhi kebutuhan tipografi pada visualisasi iklan. Cara pemakaiannya adalah dengan menggosok huruf tersebut di atas artwork iklan.

Image

Contoh artwork dengan menggunakan instant lettering digabung dengan ilustrasi (kanan atas).

Image

 

Image

Di Indonesia instant lettering juga sangat populer pada tahun 1970-an hingga awal 1990-an.

Image 

Komputer Apple Macintosh Classic dengan

tampilan WYSIWYG (What You See is What You Get) dan sudah mempergunakan mouse.

 

Image                       

Tampilan Photoshop versi 1.0.7 pada platform Macintosh. 

         Semenjak stasiun televisi swasta pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1989, maka dunia periklanan ramai-ramai mulai beralih ke media elektronik tersebut. Bahkan televisi kelak menjadi media periklanan yang favorit bagi para pengiklan. Meskipun sebenarnya iklan televisi pertama di dunia sudah ada pada tahun 1941 di Amerika Serikat dan setelah itu desainer grafis Saul Bass membuat karya berupa animasi opening title film seri televisi Anatomy of a Murder (1959). Karya-karya animasi opening title seperti itu sebenarnya sudah ada jauh sebelumnya, seperti pada film King Kong (1933) atau Sinbad the Sailor (1947), namun desainernya tak diketahui.

Image

Saul Bass – Anatomy of a Murder (1959) animasi film title.

Steven Heller dan Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames and Hudson.

ImageImage           

Gaya eklektik dipakai pada iklan-iklan Indonesia masa 1990-an.

Era online media dan gaya eklektik

         Kiranya setelah munculnya komputer grafis, visual iklan mulai menunjukkan keberagaman gaya dan teknik yang ditampilkan. Setelah masa 1990-an kesadaran untuk bermedia semakin tinggi di kalangan pengiklan ditandai dengan semakin beragamnya media iklan, terlebih internet mulai menampakkan pengaruhnya.

         Pada masa di mana tempat dan waktu sudah tidak lagi menjadi batasan seperti saat ini menjadikan desain yang dipakai akhirnya merupakan gabungan dari berbagai ragam gaya yang ada (eklektik).

         Hari ini kita saksikan perkembangan teknologi media yang semakin cepat dan dinamis. Kini semakin banyak perusahaan cetak digital dan semakin murah ongkos produksinya, serta semakin banyaknya orang menguasai komputer grafis, membuat perkembangan visual iklan menjadi semakin beragam. Sehingga setiap orang bisa menjadi desainer iklan tanpa pernah belajar desain terutama di kalangan awam. Hal ini menjadikan gaya desain kehilangan kualitasnya. Namun kita tak perlu khawatirkan karena masyarakatlah yang nanti akan menilai kualitas gaya desain mana yang baik dan mana yang tidak.

Sumber:

Alan dan Isabella Livingstone, Encyclopaedia of Graphic Design + Designers, Thames and Hudson, London, 1994.

Mikke Susanto, Diksi Rupa – Kumpulan Istilah Seni Rupa, Kanisius, Yogyakarta, 2002.

Steven Heller dan Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames and Hudson, London, 2001.

Britannica Biographical Encyclopedia of Artists, 2005

Britannica Encyclopedia of Art, 2005

Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870 – 1915), Tarawang, Yogyakarta, 2000.

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, Cakap Kecap, Galang Press, Yogyakarta, 2004.

R. Soetopo dalam katalog Simposium Disain Grafis, Sekilas Gambaran Periklanan Tiga Zaman Antara Tahun 1942 – 1952 (Suatu Rekaman Pengalaman), Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Seni Yogyakarta, 4 April 1989.

Philip B. Meggs dan Alston W. Purvis, Meggs’ History of Graphic Design, John Wiley and Son, New Jersey, 2012.

Persepsi Visual

Leave a comment

Hakekat dari komunikasi visual adalah menyampaikan sesuatu pesan visual dari si penyampai pesan kepada penerima pesan melalui media-media visual. Sehingga apa yang disampaikan secara visual akan diterima pula secara visual oleh penerima. Harapan dari penyampaian pesan ini adalah pokok pikiran akan diterima oleh penerima pesan sama dengan pokok pikiran penyampai pesan. Namun dalam komunikasi dikenal adanya faktor noise untuk menyebut faktor gangguan atau ketidaklancaran dalam penyampaian pesan. Selain faktor-faktor eksternal, terdapat juga faktor internal sebagai faktor penghambat penyampaian pesan ini. Salah satu faktor tersebut adalah persepsi yang terbentuk di benak penerima pesan akibat dari pesan yang masuk. Karena pembahasan ini mengenai komunikasi visual, maka persepsi yang dimaksud adalah mengenai persepsi visual.

Dalam psikologi, persepsi visual dimengerti sebagai kemampuan untuk menterjemahkan apa yang dilihat oleh mata, yaitu jatuhnya cahaya masuk ke retina mata. Hasil dari persepsi tersebut dikenal dengan istilah: penglihatan (eyesight/sight/vision). Beragam komponen psikologis yang melibatkan penglihatan itulah yang secara keseluruhan disebut sebagai sistem visual.

Sistem visual pada manusia memungkinkan seseorang menyerap informasi dari lingkungannya. Saat seseorang melihat adalah ketika lensa mata terfokus pada suatu obyek yang tertangkap oleh bagian belakang mata yang disebut sebagai retina. Retina ini sebenarnya adalah bagian dari otak yang terpisah dan berfungsi meneruskan sinyal-sinyal cahaya menjadi sinyal-sinyal syaraf. Sinyal-sinyal ini diproses secara berurutan oleh otak, mulai dari retina menuju syaraf-syaraf primer dan sekunder dari otak.

Masalah utama dari persepsi visual ini tidak semata-mata apa yang dilihat manusia melalui retina matanya. Namun lebih daripada itu adalah bagaimana menjelaskan persepsi dari apa yang benar-benar manusia lihat.

Penelitian Awal Perihal Persepsi Visual

Pada mulanya ada dua mazhab mengenai persepsi visual dari Yunani Kuno. Adapun dua mazhab tersebut adalah dari Euclid dan dari kelompok Aristoteles.

Studi dari mazhab Yunani Kuno yang pertama tersebut mengatakan bagaimana penglihatan mengemban tugasnya di dalam tubuh, yaitu teori emisi (emission theory atau extramission theory), yang mengatakan bahwa penglihatan terjadi karena ketika cahaya memancar dari mata dan dihadang oleh obyek visual. Jika kita melihat sebuah obyek secara langsung berdasarkan cahaya yang muncul dari mata dan jatuh kembali pada obyek. Teori ini dimunculkan oleh Euclid dan Ptolemy beserta pengikutnya. Penjelasan primitif ini masih menganggap bahwa ada cahaya yang muncul dari mata manusia dan mengabaikan sumber cahaya luar.

Pendapat kedua yaitu teori intromission yang mengatakan bahwa penglihatan terjadi karena sesuatu masuk ke dalam mata sebagai perwujudan obyek tersebut. Namun sama halnya dengan teori pertama, dalam teori ini cahaya tidak berperan sedikitpun. Teori ini dilontarkan oleh Aristoteles, Galen dan para pengikutnya. Jika kita telaah, maka sebenarnya kedua pendapat tersebut di atas sudah menemukan prinsip penglihatan, namun masih belum bisa menyebutkan secara tepat.

Barulah kemudian Ibn al-Haytham[1] (oleh orang Eropa dilafalkan sebagai Alhacen atau Alhazen), yang kemudian sering disebut sebagai Bapak Optis, yang pertama-tama menengahi kedua teori tersebut melalui bukunya Book of Optics (dalam bahasa Arab Kitab al-Manazir atau Latin – Opticae Thesaurus) ditulis pada tahun 1021. Sebuah buku yang berisi penjelasan-penjelasan awal mengenai psikologi persepsi visual dan ilusi optis.

Dia berpendapat bahwa penglihatan adalah hasil dari pantulan cahaya yang memantul dari obyek-obyek yang ada dan kemudian ditangkap oleh lensa mata. Teori inilah yang tetap berlaku hingga sekarang. Dia pula yang melakukan penelitian ilmiah mengenai psikologi persepsi visual, sebagai ilmuwan pertama yang berpendapat bahwa penglihatan lebih utama terjadi di dalam otak dibandingkan pada mata. Dia menunjuk bahwa pengalaman seseorang mempunyai akibat pada apa yang mereka lihat dan bagaimana mereka melihat. Dikatakan pula bahwa penglihatan dan persepsi adalah bersifat subyektif. Dijelaskannya bahwa terdapat kemungkinan terjadi kesalahan dalam detail penglihatan, dan sebagai contohnya adalah bagaimana seorang anak kecil dengan sedikit pengalaman mengalami kesulitan untuk memahami apa yang dia lihat. Bagi seorang anak kecil, seburuk apapun wajah ibunya baginya tidak menjadi masalah selama si anak ini tidak diberi pengertian mengenai definisi kecantikan seperti yang dipahami oleh orang dewasa. Ibn al-Haytham juga memberikan sebuah contoh bahwa orang dewasa sekalipun dapat melakukan kesalahan dalam penglihatannya karena pengalaman orang tersebut mengesankan bahwa dia melihat sesuatu hal ketika dia melihat satu hal yang berbeda lainnya. Hal ini seperti sebuah pepatah bahwa: keindahan itu terletak pada mata mereka yang melihatnya. Sebuah bunga yang indah dapat menarik perhatian bagi seseorang, namun bisa jadi tidak menarik bagi orang yang lain. Ibn al-Haytham banyak melakukan penelitian dan eksperimen mengenai persepsi visual.[2]

Ketika tahun 2001 pada kontes kecantikan Miss World, yang menjadi pemenang adalah Agbani Darego dari Nigeria. Pada kontes Miss World dan juga kontes-kontes kecantikan lainnya di dunia, kiranya banyak diketahui bagaimana kriteria kecantikan pesertanya. Ada tiga unsur penting penilaian: brain, beauty dan behaviour. Sedangkan standar kecantikan (beauty) yang menjadi ukuran adalah standar Eropa dan dunia media masa kini, yaitu: tubuh yang tinggi, langsing dengan proporsi bak boneka manekin. Para penonton tentu saja menyetujui apa yang menjadi pilihan juri. Bahkan kini Agbani Darego menjadi salah satu model terkenal di dunia.

Namun ternyata apa yang menjadi pilihan juri dan selera penonton berbeda dengan persepsi yang dimiliki oleh rakyat kebanyakan di negeri asal pemenang, yaitu: Nigeria tadi. Mereka mempertanyakan dan bahkan tak sedikit yang mencemoohkan ‘selera dunia’ tadi. Kriteria kecantikan standar Miss World rupanya tak berlaku pada mayoritas masyarakat Nigeria. Negara Nigeria dikenal sebagai sebuah negara terbelakang, miskin dan penuh konflik bersenjata yang nyaris tiada henti. Membuat negeri tersebut jatuh ke dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan yang luar biasa. Pemandangan orang-orang yang kurus kering (ternasuk juga kaum perempuan) dominan di negeri ini. Sehingga sebaliknya figur orang (juga perempuan) gemuk menjadi simbol dari kemakmuran. Lebih dari itu badan gemuk menjadi dambaan hampir setiap orang di Nigeria. Tentu saja inilah bentuk kecantikan yang ideal bagi mayoritas masyarakat Nigeria.

Karena bentuk tubuh Agbani Darego yang langsing, maka oleh sebagian besar masyarakat Nigeria dia dianggap tidak cantik dan tidak pantas kiranya memenangi kontes Miss World tersebut. Persepsi visual dipengaruhi juga oleh kekuatan lingkup referensi. Jika lingkup referensi masyarakat Nigeria yang bosan sehari-hari menyaksikan manusia-manusia yang kurus kering dan sangat mendambakan manusia yang gemuk subur. Maka Agbani Darego pemenang Miss World 2001 tersebut tidaklah sesuai dengan kriteria kecantikan masyarakat Nigeria.         Di sini kita tidak hanya sekedar membahas masalah selera, namun juga mengenai apa yang disebut sebagai referensi. Pembentukan persepsi dalam pikiran manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkup referensi, latar belakang dan pengalaman mental sebelumnya. Dengan begitu maka persepsi yang terbentuk pada masing-masing individu bisa berbeda-beda satu dan lainnya.

Seperti dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Sehingga timbunan peristiwa mental sebelumnya turut membentuk pola persepsi.

Hal ini dapat diaplikasikan ke dalam tindakan nyata, misalnya dalam dunia bisnis. Ketika perusahaan Apple mengeluarkan produk telepon selulernya dengan brand iPhone, masyarakat penggemar produk Apple sangat antusias untuk menyambut produk tersebut. Ditambah dengan pemberitaan-pemberitaan di media massa, turut melambungkan citra iPhone yang belum diluncurkan ke pasaran. Pemberitaan yang semakin intens membuat para penggemar menjadi semakin mantap ingin memiliki bahkan berebut menjadi pembeli pertama iPhone tersebut. Ketika produk diluncurkan pada bulan Juli 2008 yang lalu di Eropa dan Amerika, para calon pembeli rela antre berjam-jam di tengah dinginnya cuaca demi menjadi pemakai pertama iPhone.

Namun, hal seperti ini tidak terjadi di negara Polandia. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, tidak ada sambutan yang hangat dari pengguna setempat. Mereka menganggap biasa saja peluncuran produk ini. Jangankan antrian seperti di negeri tetangga, segelintir orang yang menengok produk inipun sudah lumayan. Tentu saja hal ini membuat gundah distributor setempat.

Akhirnya distributor merencanakan suatu tindakan untuk mengatasi hal ini. Mereka memutuskan untuk memakai antrian palsu guna mengundang rasa ingin tahu dan membentuk persepsi terhadap iPhone sebagai produk yang laris serta ditunggu-tunggu. Antrian palsu disewa untuk membentuk citra iPhone yang laris dan ditunggu-tunggu di depan 20 toko. Maka masyarakat yang melihat hal ini timbul persepsi di benak mereka, yaitu iPhone yang laris di luar negeri mereka ternyata juga sangat ditunggu-tunggu di Polandia. Hasilnya adalah produk tersebut akhirnya laris juga di Polandia[3]

Persepsi visual yang timbul akibat dari peristiwa ini adalah bahwa masyarakat tidak sekedar melihat antrian yang terlihat saja. Namun lebih daripada itu, masyarakat yang melihat telah memroses penglihatan mereka ke dalam pikiran mereka, sehingga menciptakan suatu persepsi baru. Sehingga masyarakat yang sebelumnya tidak ada minat sedikitpun menjadi meningkat antusiasmenya. Persepsi inilah yang diinginkan oleh distributor iPhone tadi untuk meningkatkan penjualan. Di luar masalah butuh atau tidaknya masyarakat terhadap iPhone, namun dengan persepsi telah dibentuk bahwa iPhone bagus dan canggih. Lebih daripada itu faktor psikologis gengsi pemilik iPhone sepertinya menjadi faktor penting pembentukan persepsi ini.


[1] Alhazen atau Alhacen (965-1039) seorang polymath (orang yang ahli dalam banyak bidang). Seorang Arab Persia dengan nama asli Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasan ibn al-Haytham. Lahir di Basra, Irak sehingga sering dipanggil juga sebagai al-Basri.

[3] www.detikinet.com, Senin, 25/08/2008 11:17

Membuat Bahasa Visual

1 Comment

Dalam membuat sebuah bahasa visual pada umumnya pilihan unsur-unsur visual selalu diarahkan kepada bentuk-bentuk yang TEPAT, SEKSAMA dan LAZIM[1]. Ketiga hal tersebut menjadi pedoman dalam hal memilih unsur visual. Dimaksud dengan TEPAT adalah mengenai sasaran, arti dan konteksnya. Visual yang tepat dengan konteks dengan mengindahkan siapa sasarannya. SEKSAMA artinya sesuai dengan apa yang hendak disampaikan (yang menjadi pesannya). LAZIM adalah unsur visual yang kita pilih sudah menjadi referensi umum, dikenal dengan baik dan dipakai secara umum.

Atau dalam istilah lain: sebelum kita menyusun bahasa visual maka kita harus perhatikan dahulu product knowledge-nya, yaitu apa yang akan kita sampaikan. Lantas siapa audience-nya (secara demografis, psikografis, teknografis dan sebagainya). Kemudian bagaimana cara kita menyampaikan (‘jenis bahasa’/’cara bicara’) atau konteks dan referensi pesan.

Menguasai Product Knowledge

Setiap pesan yang akan disampaikan harus kita mengerti dan kuasai terlebih dahulu. Meminjam istilah dari periklanan: product knowledge harus diketahui terlebih dahulu. Jika pesan tersebut tentang produk atau jasa komersial maka kita harus tahu: problem produk, jenis produk, komposisi bahan, harga, varian produk, bentuk, konsumen, pesaing, keunggulan, kelemahan dan lain-lain. Jika non komersial/sosial ketahui terlebih dahulu: problem, tujuan kampanye, obyek dan lain-lain. Sedangkan apabila sebuah institusi kenali terlebih dahulu sejarahnya, jenis institusi, filosofi dan cita-cita, susunan direksi dan sebagainya.

Memahami Sasaran dan Referensinya

Sebelum kita menentukan, memilih dan menyusun unsur-unsur visual pembentuk bahasa visual, ada satu hal yang penting yang harus kita lakukan dan ketahui terlebih dahulu, yaitu: kepada siapa kita tujukan pesan kita. Melalaikan sasaran berpotensi untuk menjadi sebuah pesan yang sia-sia. Ibarat kita akan berbicara dengan seseorang, tentu kita akan terlebih dahulu mengukur lawan bicara kita. Kepada seorang anak kecil tentu akan kita pakai intonasi dan gaya bahasa yang dipahami oleh anak kecil tersebut. Kepada Pak Lurah tentu kita akan memakai bahasa yang baku, terlebih pada acara yang resmi. Demikian pula bahasa, intonasi dan idiom yang kita ucapkan akan berbeda jika kita berbicara pada remaja, ibu-ibu rumah tangga, petani atau punkrockers. Bahasa yang seperti apakah yang akan kita pakai pada masing-masing lawan bicara tadi tentu harus kita pelajari terlebih dahulu. Terlebih lagi kita harus bisa menyamakan referensi yang kita miliki dengan yang mereka miliki dan sebaliknya.

 

            Dalam memahami sasaran dan apa referensi yang melekat padanya salah satunya dengan memahami segmentasi. Siapa sasaran kita dan apa yang menjadi atribut serta ketertarikan mereka. Berikut cara melakukan segmentasi melalui demografi dan contoh kemungkinan visualisasinya:

Variabel

Sub Variabel

Visualisasi

Usia Anak-anak Anak-anak yang sedang bermain di taman atau di sekolah
Remaja Remaja sedang melakukan aktivitasnya (olahraga, jalan-jalan dan lain-lain)
Dewasa Bekerja, berkarier atau visualisasi kehidupan mapan lainnya
Orangtua Kakek dan nenek duduk-duduk di beranda
Gender Maskulin Olahraga ekstrim
Feminin Belanja, berkebun
Ukuran keluarga Keluarga inti Makan bersama dalam satu meja
Keluarga besar Acara silaturahmi Lebaran keluarga
Family Life Cycle Single Suasana kafe
Baru menikah tapi belum punya anak Pasangan suami istri menata perabotan rumah tangga
Menikah dengan anak-anak usia balita Pasangan suami istri mengajak anak balitanya dengan kereta dorong berjalan-jalan di kompleks perumahan
Menikah dengan anak-anak berusia remaja Pasangan suami istri mengajak bercanda anak-anak remajanya atau makan di restoran cepat saji
Menikah dengan anak-anak berusia dewasa Pasangan suami istri yang dimintai restu anaknya pada peristiwa pernikahan
Tua dengan anak-anak sudah dewasa dan mandiri Pasangan suami istri yang dikunjungi anak-anak dan menantunya pada saat Lebaran
Keluarga yang sudah ditinggalkan anak-anaknya mandiri Kakek dan nenek duduk-duduk di beranda
Pekerjaan Jenis pekerjaan sendiri bermacam-macam. Atribut yang menunjukkan suatu pekerjaan bisa beragam Misalnya: blazer dan rok span untuk perempuan yang bekerja di perkantoran modern
Pendidikan Tingkat pendidikan bisa beragam. Visualisasi tingkat pendidikan bisa ditampilkan secara eksplisit dan dihubungkan dengan variabel lain Pendidikan tinggi divisualkan figur yang intelek dan fisik yang bersih
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan cukup beragam. Biasanya dihubungkan dengan atribut tampilan sosial mereka Mobil mewah untuk visual tingkat pendapatan tinggi
Agama Atribut yang berhubungan dengan peristiwa keagamaan dan kebiasaan agama masing-masing Pohon Natal dan Sinterklas untuk hari raya Natal

Ketupat untuk hari raya Lebaran

Baju koko, sarung dan pecis untuk visualisasi orang Muslim

Suku dan Kebangsaan Atribut yang berhubungan dengan kultural dan kebiasaan daerah masing-masing Pakaian tradisional masing-masing daerah

Bangunan khas daerah masing-masing

Sedangkan segmentasi lain misalnya dengan psikografi. Berikut contoh psikografi atau sering disebut dengan segmentasi gaya hidup.

Psikografi Remaja Jakarta (Riset Susianto, 1993)[2]

Segmen Gaya Hidup

Deskripsi

Visualisasi

Hura-hura Kelompok yang menyukai kegiatan yang tidak terlalu serius dalam terlibat pada sesuatu hal. Sebagian besar adalah pria yang senang dengan ‘keramaian kota’
Hedonis Mengarahkan kegiatannya untuk mencari kenikmatan hidup. Mereka suka aktivitas di luar rumah dan membeli barang-barang mahal demi kesenangannya Diwakili dengan figur Agnes Monica. Atau visualisasi iklan Class Mild
Rumahan Lebih banyak menghabiskan waktu di rumahnya dan sedikit bergaul. Orientasi pada keluarga dan sedikit perhitungan dalam pengeluaran uang sakunya
Sportif Senang berolahraga dan berprestasi dalam olahraga. Umumnya mereka bukan tipe pesolek dan lebih terbuka pada situasi. Diwakili oleh figur Samuel Rizal.
Kebanyakan Tipe paling umum. Berhati-hati dalam berperilaku. Tidak suka bertentangan dengan kelompok yang lebih besar dan kurang berinisiatif. Tipe biasa-biasa saja Remaja berpakaian biasa cenderung lugu, berkacamata dan suka membaca buku
Orang untuk orang lain Bersikap sosial dan produktif dalam kegiatan yang bermanfaat, peka terhadap kebutuhan orang lain. Mengutamakan kebersamaan dalam keluarga

Tabel psikografi di atas adalah hasil penelitian Susianto (UI, 1993) dengan responden 209 remaja (17 – 20 tahun) kelas menengah atas berasal dari keluarga dengan ciri-ciri: memiliki sedikitnya 2 buah mobil sedan (keluaran 5 tahun terakhir), berlangganan TV kabel (saat itu RCTI dengan dekoder) dan uang saku minimal Rp. 150.000,-/bulan. Responden diambil di beberapa sekolah unggulan di Jakarta.

Contoh berikutnya diambil dari segmentasi teknografi yaitu segmentasi berdasarkan konsumsi barang-barang berteknologi modern seperti barang-barang elektronik (televisi, radio, DVD player, MP3 player, handphone, komputer, software, video game dan lain-lain). Terdapat 12 segmen teknografi dan visualisasinya:

Orientasi

Grup

Uraian

Visualisasi

Keluarga Neo-Hearttminders Orangtua (umumnya ibu) yang berorientasi pada kemajuan anak-anaknya. Mereka cenderung membeli barang teknologi seperti komputer dan software untuk mendukung kemajuan anak-anaknya. Ibu yang sedang menunggui atau membimbing anaknya di depan komputer
Traditionalists Orangtua (umumnya ayah) yang beroientasi pada kehangatan dan kebahagiaan rumah tangga. Mereka cenderung membeli barang teknologi untuk hiburan seluruh keluarga seperti televisi, DVD player dan perabot rumah tangga elektronik lainnya. Suasana ruang keluarga yang gembira menonton televisi bersama-sama seluruh anggota keluarga
Karir Fast Forwarders Membutuhkan barang teknologi untuk memperlancar karir dan pekerjaan mereka. Umumnya mereka akan membeli laptop, mesin fax, smartphone dan perabot bisnis elektronik lainnya. Pria/wanita karir menenteng tas laptop berjalan di kompleks perkantoran modern atau suasana meeting dengan masing-masing laptop
Technostrivers Umunya adalah mereka yang berada di awal karir sehingga daya beli masih belum cukup. Umumnya mereka akan membeli barang eletronik penunjang pekerjaan namun dengan harga lebih murah dan kelas lebih rendah Pria/wanita karir dengan handphone middle end berjalan di di kompleks perkantoran modern atau selasar mall
Handshakers Mereka adalah yang berkarir namun sudah merasa terlalu tua untuk menguasai teknologi modern. Mereka ini dari kalangan generasi Kemerdekaan dan generasi Tritura yang baru mengenal komputer di atas umur 40 Pria paruh baya sebagai pimpinan perusahaan yang memberi arahan pada anak buahnya
Hiburan Mouse Potatoes Mereka terdiri dari anak muda dan paruh baya yang bisa dengan cepat menyerap teknologi. Senang dengan fitur-fitur baru barang berteknologi modern. Mereka akan membeli misalnya handphone dengan teknologi 3G Anak muda dengan pakaian casual menghadapi laptop dan internet dengan wi-fi atau orang beraktivitas dengan video phone
Gadget Grabbers Sama dengan segmen Mouse Potatoes namun daya beli mereka hanya mampu menjangkau harga rendah. Misalnya menggemari Game Nintendo atau mengunjungi warnet atau game online Anak muda dengan pakaian casual
Media Junkies Kelompok yang tidak terburu-buru mengadopsi teknologi baru Tampilan konservatif
Status Cyber Snobbs Mereka yang berorientasi pada barang-barang berteknologi baru, siap membeli produk baru tanpa menghiraukan harga demi ingin tampil beda. Umumnya mereka adalah kalangan mampu. Pria/wanita berpenampilan sangat trendy menenteng handphone high-end mengobrol dengan komunitasnya di sebuah kafe
X-Techs Adalah mereka yang ingin tampil beda namun terbatas budget-nya Pria/wanita berpenampilan trendy dengan perangkat middle end di tengah rekan-rekannya
Country Clubbers Membeli barang berteknologi tinggi demi gengsi dan supaya tidak terlihat ketinggalan dengan komunitasnya. Para pria mapan sedang bermain golf atau sedang mengobrol di clubs
Lain-lain Sidelined Citizens Mereka yang tidak tertarik dengan barang berteknologi dengan berbagai alasan Orang yang tergagap dan bingung di depan komputer atau mesin ATM

Pemilihan Unsur Visual

Pemakaian unsur visual dalam konteks referensi lokal/sempit barangkali akan kurang mengena jika ditujukan pada sasaran umum. Misalnya: pemakaian blangkon (atribut tradisional Jawa) sebagai visualisasi dalam iklan cetak produk komputer merk multinasional untuk khalayak bukan di Indonesia. Bisa jadi konteks visual menjadi tidak tepat, mulai dari jenis produk, kelas merk hingga target audience yang bukan dalam konteks tradisional.

Demikian pula dengan unsur-unsur visual yang tidak pernah dipakai atau sudah lama hilang dari referensi masyarakat, maka akan terasa aneh apabila dipakai dalam menyusun sebuah bahasa visual. Misalnya: visualisasi seorang guru selalu dengan atribut baju putih lengan panjang, berpeci hitam ditambah dengan celana panjang putih pula. Sepatu hitam mengkilap, berkacamata tebal dengan bingkai hitam yang juga tebal. Berkendaraan sepeda kuno atau maksimal memakai skuter. Membawa setumpuk buku atau map lengkap dengan penggaris panjang terbuat dari kayu. Pakailah referensi yang berlaku saat ini, kecuali memang ingin bermaksud bernostalgia atau dalam konteks tidak serius/karikatural.

Gaya Bahasa Visual

Meminjam metode dalam tata bahasa, dalam menyusun bahasa visualpun dapat berpedoman pada istilah-istilah yang ada pada bahasa verbal. Tiap unsur visual harus efektif, bergaya dan berdaya guna yang mana ini kita perlukan dalam bahasa visual secara umum. Maksudnya adalah bahasa visual secara umum namun dapat ditambah dengan salah satu cara. Berikut sekilas beberapa tentang gaya tersebut dan masih meminjam dari istilah tata bahasa:

No.

Gaya Khusus

Uraian

Contoh

1. Simile atau persamaan Perbandingan yang bersifat eksplisit. Terdapat spesifikasi mengenai persamaan itu. Mempersamakan kecepatan reaksi obat Bodrex dengan kecepatan sebuah motor balap
2. Metafora atau kiasan Perbandingan yang implisit Iklan-iklan A Mild versi ‘Tanya Kenapa’ atau ‘Benda Bicara’ untuk melakukan sindiran sosial.
3. Personifikasi atau pengorangan Memperlakukan atau mempersamakan suatu benda jika menjadi manusia Kekuatan sebuah produk printer dengan Ade Rai sebagai model iklannya.
4. Alegori Terdiri dari:

Fabel atau dongeng dari dunia binatang

Parabel atau cerita perumpamaan dari dunia petani, nelayan, penjahit dan lain-lain profesi rakyat jelata

Memakai binatang sebagai obyek cerita visual. Menghubungkan sifat suatu binatang dengan sifat yang ingin diwakilinya. Misal: Kelelawar mewakili aktivitas malam hari pada Mentari Free Talk.
5. Alusi Memanfaatkan kesamaan antara hal yang satu dengan hal yang lain untuk menyindir atau menyasar hal yang satu itu. Visualisasi untuk wanita pemberani adalah dengan figur-figur mulai dari Srikandi, Supergirl, Margareth Tatcher hingga Suciwati
6. Eponim Memanfaatkan kesamaan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain Kecantikan wanita divisualkan sebagai Venus (dewi kecantikan Yunani)
7. Metonimia Visualisasi berdasarkan asosiasi antara kata dengan kata lain. Meja hijau untuk pengadilan

Pena untuk dunia jurnalistik

8. Sinestesia Menterjemahkan secara visual cerapan indera-indera kita selain indera penglihatan Terjemahan visual dari:

Bau wangi = gambar bunga

Perabaan kasar = gambar durian

Suara mendengkur = gambar kayu digergaji

Rasa pedas = gambar api


[1] Meminjam istilah Tata Bahasa dari Poerwadarminta dalam A. Widyamartaya, Seni Menggayakan Kalimat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal. 43

[2] Rhenald Kasali, Membidik Pasar Indonesia –Segmentasi, Targeting , Positioning, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal. 227 – 230

Gaya Desain Grafis

23 Comments

Pengertian dari gaya secara umum adalah: suatu ragam yang khas dari ekspresi, desain, arsitektur atau cara pelaksanaan suatu hal. Gaya dalam desain grafis berarti keindahan visual yang mempunyai pengaruh besar pada suatu masa dan tempat tertentu. Desainer grafis pada dasarnya bertugas untuk mengatur dan mengkomunikasikan pesan untuk menempatkan sebuah produk atau ide di benak audience, memberikan kesan baik, serta memberitahukan dan mempublikasikan suatu informasi dengan cara yang efektif. Dalam proses ini, gaya juga berarti sebuah cara untuk menginformasikan dan menandai pesan yang ditujukan bagi audience tertentu.

Sejak era Victoria hingga sekarang, desain grafis telah berfungsi melayani bermacam kebutuhan di sektor ekonomi dan budaya, oleh sebab itu gaya desain grafis berkembang beraneka ragam pula. Suatu gaya diciptakan karena alasan estetika (Art Nouveau), sedangkan yang lain dengan alasan politik (Dada). Ada pula berdasarkan keinginan untuk mendapatkan identitas bersama (Swiss International Style) atau tuntutan komersial (Post-Modernism), serta berdasarkan landasan moral dan filsafat (Bauhaus). Beberapa gaya dipengaruhi oleh seni murni/fine art (Art Deco), atau ada yang terpengaruhi oleh industri (Plakatstil). Beberapa gaya nasional bahkan menjadi sebuah gerakan internasional (Futurism). Namun ada pula beberapa gaya yang bertahan hingga saat ini dan terus masih digunakan (Contructivism, Expressionism, Surrealism). Beberapa gaya tidak mampu bertahan dan hilang ditelan jaman, beberapa gaya dihidupkan dan dipakai kembali hari ini dan bahkan disalahgunakan oleh generasi berikutnya.

 

Gaya dalam Desain Grafis

1. Victorian

Gaya desain grafis Victorian berkembang di Amerika, Inggris dan sebagian besar benua Eropa sejak tahun 1820-an hingga tahun 1900. Gaya ini muncul karena reaksi seniman atas akibat yang ditimbulkan oleh revolusi industri. Memang di lain pihak, revolusi industri di Inggris mendatangkan berkah namun juga memunculkan akibat meningkatnya kriminalitas, urbanisasi dan orang kaya baru (kaum borjuis/borgeouis). Mereka kemudian mencari gaya dari masa lalu dengan membandingkan pada seni dan arsitektur jaman Gothic.

Setelah peristiwa Pameran Raya tahun 1851, masyarakat semakin berminat pada ornamentasi bentuk-bentuk bersejarah. Selera masyarakat beranggapan bahwa bentuk-bentuk yang cenderung gemuk akan menimbulkan efek yang menyenangkan mata.

Para perancang grafis masa ini menolak standar tipografi Renaissance dengan cara menciptakan poster yang justru merusak keanggunan typeface Bodoni dan Didot dari abad ke-18. Caranya dengan membuat menjadi lebih lebar dan hitam. Peniruan ini dinamakan dengan Fat Face dan menjadi ciri khas era Victorian. Kemajuan teknologi juga ikut mendukung perkembangan perubahan gaya Victorian, yaitu dengan adanya cetak warna (chromolithography) di Jerman dan Amerika tahun 1870-an. Teknik cukil kayu  (woodcut) dan typeface dengan serif/sirip serta huruf-huruf Gothic menjadi sebuah desain yang khas era ini.

 

2. Arts and Crafts

Pameran Raya pada 1851 juga membawa pengaruh di masyarakat mengenai kenyataan bahwa revolusi industri telah menekan kualitas estetika/keindahan pada barang-barang yang dihasilkan industri masa itu. Mereka berusaha mengembalikan lagi standar esetetika dengan mengembangkan sebuah gaya nasional secara terpadu. John Ruskin (1819 – 1900) seorang seniman dan kritikus mengatakan bahwa bentuk-bentuk Gothic dan ornamen merupakan obat yang paling manjur untuk menyembuhkan semua penyakit estetika modern.

Sementara William Morris (1834 – 1896) seorang arsitek dan desainer rekan Ruskin, menerapkan typeface-typeface sans serif dan menolak memakai typeface klasik Roman. Gaya ini segera menjadi pengaruh yang menentukan dari pergantian cara pikir di dalam estetika era Victorian.

 

Gb. 1 Arts and Crafts Design Style (1893).

Sumber: Steven Heller & Seymour Chwast, Graphic Style, New York, 1988

 

3. Art Nouveau

Gaya ini merupakan gaya desain internasional pertama yang berkembang mulai tahun 1880-an hingga era awal perang dunia pertama. Walaupun hanya berlangsung relatif singkat, namun Art Nouveau memiliki kekuatan dalam menyebarkan seni murni di masyarakat. Bahkan dianggap sebagai salah satu inovasi paling imajinatif di dalam sejarah desain oleh para kritikus saat itu.

Gaya ini sebenarnya dimulai di Inggris dan merupakan turunan langsung dari gerakan Arts and Cratfs. Desainer pada masa itu menampilkan bentuk-bentuk informal yang mengambang, desain dengan irama bergelombang, pola datar, feminin, garis-garis lengkung, gaya naturalis tumbuhan, serangga, wanita telanjang serta simbolisasi-simbolisasi yang menimbulkan kekaguman. Art Nouveau memperkenalkan unsur-unsur sensualitas ke dalam desain dan seringkali digambarkan dengan jelas.

 

Gb. 2 Contoh Gaya Desain Art Nouveau.

Desainer tidak diketahui.Inchiostri da Scrivere.(Poster/1911)

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

 

a. French/Belgian Art Nouveau

Pada tahun 1870-an hingga tahun 1899, Jules Cheret (1836 – 1932) membuat semarak jalanan di kota Paris dengan ratusan poster iklannya. Cheret sendiri sering disebut sebagai Bapak Poster Modern dengan karya desainnya yang berjumlah lebih dari seribu poster. Desain yang dibuat Cheret biasanya adalah menampilkan figur tunggal dengan satu atau dua kata (biasanya berupa slogan) yang ditulis dengan tangan. Figur tampak terpisah dengan kaki yang tidak menyentuh tanah dan melayang di atas permukaan poster. Ciri-ciri ini kemudian menjadi dasar bagi desain poster di Eropa dan Amerika pada perriode berikutnya.

 

Gb. 3 Contoh Gaya Desain French/Belgian Art Nouveau.

Henri de Toulouse-Lautrec. Reine de Joie.(Poster/1892)

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

b. Jugendstil

Di kota Munich, Jerman pada tahun 1896 berkembang gaya Jugendstil (yang artinya ‘gaya muda’ dalam bahasa Jerman) yang mana berkembang dari gaya cetak tradisional Jerman. Gaya ini sering menampilkan pinggiran yang keras dan memperbolehkan sentuhan pribadi seperti pada sampul majalah Jugend. Para desainer penganut gaya ini menolak menampilkan tipografi tradisional namun memakai typeface yang unik tetapi kadang sulit dibaca.

Gb. 4 Contoh Gaya Desain Jugendstil.

Desainer tidak diketahui. Jugend. (Sampul majalah/1900)

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

c. Glasgow Style

Terinspirasi oleh ornamen tradisional Celtic dan garis khas Beardsley, para seniman Skotlandia yang dipimpin oleh Charles Rennie Mackintosh (1868 – 1928) mengembangkan bahasa visual baru yang kemudian dikenal sebagai Glasgow Style. Gaya ini kemudian diterapkan dalam karya-karya seni grafis, tekstil, arsitektur dan desain interior. Karena pada awal dekade 1890-an, gaya ini menggunakan motif botani, maka Glasgow Style dihubungkan dengan Art Nouveau, namun lebih menekankan pada desain fungsional dan menolak motif berlebihan.

Glasgow Style menampilkan komposisi-komposisi yang lebih  geometris,menggantikan unsur-unsur botani dan garis-garis lengkung dengan struktur garis lurus yang kuat. Tema-tema desainnya adalah garis vertikal naik dan dengan kurva-kurva lembut di tiap ujungnya untuk memperhalus pertemuan dengan garis horisontal. Ciri-ciri gaya ini adalah sudut-sudut yang sempit, segi empat yang tinggi, ditambah bentuk-bentuk oval, lingkaran dan lengkungan.

 

Gb. 5 Contoh Gaya Desain Glasgow Style.

Glasgow Institute of Fine Arts (1895)

Sumber: Steven Heller & Seymour Chwast, Graphic Style, New York, 1988

 

d. Vienna Secession

Gaya ini mirip dengan Jugendstil yakni memberikan sentuhan pre-Raphaelitism, antik, klasik, anti naturalistik, garis lurus murni, geometris sederhana, kontur/outline yang tegas, gambar bersudut runcing dan tipografi dekoratif.

Gaya ini diperkenalkan oleh Gustav Klimt (1862 – 1916) yang terpengaruh oleh The Glasgow School.

 

e. American Art Nouveau

Sebagai gaya yang internasional, pengaruhnya sampai juga ke Amerika. Walaupun sempat menjadi trend di Amerika, namun tidak pernah benar-benar dominan, berbeda dengan yang terjadi di Eropa. Para desainer Amerika enggan mempergunakan gaya untuk merubah dunia politik, budaya dan spiritual mereka.

 

Gb. 6 Contoh Gaya Desain American Art Nouveau.

Jackie Meyer – desainer, Mel Odom – ilustrator, Max Lakeman and the Beautiful Stranger. (Sampul buku/1990)

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

4. Early Modern

Pada dekade 1870-an hingga 1890-an adalah masa di mana industri mengalami kemajuan yang pesat. Dengan begitu, dunia periklananpun turut berkembang juga. Dimulailah era poster, kemasan dan iklan mendukung kegiatan-kegiatan kabaret, teater, sirkus, musik serta pertunjukan budaya lainnya.

a. Beggarstaff

Pada tahun 1894 di Inggris, seorang pelukis bernama James Pryde (1866- 1941) bersama iparnya William Nicholson (1872 – 1949), yang kemudian menyebut diri mereka sebagai The Beggarstaff Brothers membuka studio untuk melayani iklan.

Ciri-ciri desain mereka adalah tanpa hiasan dan untuk menghemat waktu proses reproduksi mereka memakai silhouette. Warna yang dipakai dibatasi menjadi hanya dua atau tiga warna dasar saja. Desain-desainnya kebanyakan asimetris dengan typeface tebal untuk mengimbangi ilustrasi.

 

Gb. 7 Contoh Gaya Desain Beggarstaff.

Lucian Bernhard. Priester Match Company. (Poster/1906).

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

b. Die Wiener Werksttate

Desain pada gaya ini berdasar pada pemanfaatan bidang dan keseimbangan antara bidang positif dan negatif, ditambah dengan huruf Gothic asli yang dibatasi secara geometris dan typeface seperti tulisan tangan. Walaupun gaya ini hanya bertahan hingga tahun 1932, namun telah mampu menjembatani jurang antara seni dan industri.

 

Gb. 8 Contoh Gaya Desain Die Wiener Werkstatte.

Richard Erdmann Schmidt. Modern Drucksachen. (Iklan Cetak/1919)

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

c. Deutscher Werkbund

Adalah merupakan serikat dari pengusaha, retailer dan desainer yang dibentuk di Munich, Jerman pada tahun 1907 untuk meningkatkan mutu produk industri Jerman. Dipengaruhi oleh ide-ide dari gaya Arts and Crafts dari Inggris, Werkbund terlihat mengaplikasikannya ke dalam teknik produksi massal.

 

d. Plakatstil

Sebuah gerakan poster yang bermula di Jerman pada awal tahun 1890-an dan mencoba mengangkat poster iklan komersial menjadi sebuah bentuk karya seni. Berawal dari Sachplakat (poster obyek) yang terbentuk dari obyek tunggal yang dominan, jenis huruf yang sederhana namun tegas, serta warna-warna yang mencolok. Desainer pada gaya ini antara lain Lucian Bernhard dan Ludwig Hohlwein. Majalah bulanan yang terbit di Berlin, Das Plakat (1910 – 1921) menjadi sebuah media yang sangat terpengaruh gaya desain ini.

 

Gb. 9 Contoh Gaya Desain Plakatstil.

Austin Cooper. Austin Reed’s of Regent Street. (Poster/1928).

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

5. Expressionism

6. Modern

a. Futurism

Awalnya adalah sebuah gerakan seni yang revolusioner pada tahun 1909 oleh penulis Italia Filippo Tommaso Marinetti (1876 – 1944). Pemunculan pertama dari gaya desain ini adalah pada surat kabar Perancis Le Figaro (20 Pebruari 1909), menampilkan gabungan antara nasionalisme, militerisme Italia dan penyembahan terhadap kecepatan, yang diekspresikan melalui figur mobil dan pesawat terbang.

 

Gb. 10 Contoh Gaya Desain Futurism.

Desainer tidak diketahui. Future New York. (Kartu pos/1916).

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

b. Vorticism

Sebuah gerakan seni di Inggris yang dimulai oleh Wyndham Lewis (1882 – 1957) pada tahun 1914, yang mana pada desain-desainnya terlihat penggabungan komposisi yang dinamis serupa dengan gaya kubisme maupun futurisme. Lewis merupakan editor majalah Blast, sebuah majalah yang kontroversial saat itu. Ilustrasi dan tipografi pada gaya desain ini menampilkan ketidakberaturan, dengan kontras yang kaku serta garis-garis yang bergerigi dan dilawan dengan bidang diagonal. Gerakan ini ikut surut seiring dengan berakhirnya Perang Dunia I.

 

c. Constructivism

Gaya ini muncul pada gerakan seni Rusia yang radikal yang berkembang menjelang Revolusi Bolshevik tahun 1917. Dalam rangka ikut memperbaiki peran seniman dan memberikan kontribusi pada ‘kontruksi’ untuk sebuah negara komunis yang baru, sekelompok seniman menolak konsep ‘seni untuk seni’, yang mana konsep ini yang menjadi dasar dari gerakan Suprematisme.

 

Gb. 11 Contoh Gaya Desain Contructivism.

L. Lissitzky. Beat the Whites with the Red Wedge. (Poster/1920)

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

d. De Stijl

Sering disebut The Style, sebuah gerakan seni di Belanda dan menjadi nama sebuah majalah yang pertama kali dicetuskan oleh Theo van Doesburg seorang pelukis dan desainer pada tahun 1917. De Stijl yang terpengaruh oleh gerakan avant-garde pada tahun 1920-an yang berkomitmen menyatukan seluruh seni. Gerakan yang menarik perhatian para seniman, desainer dan arsitek ini memiliki ciri-ciri penampilan obyek-obyek abstrak melalui bentuk kotak dan warna-warna primer dipadukan dengan hitam, putih dan abu-abu. Beberapa nama yang seringkali dihubungkan dengan gaya ini adalah pelukis Piet Mondrian, arsitek dan desainer furnitur Gerrit Rietvield dan Piet Zwart. Desain pada gaya ini sangatlah disiplin dan terukur, dengan pemakaian typeface sans serif, garis-garis lurus, blok-blok kotak yang rapat dan layout asimetris yang inovatif.

Gb. 12. Contoh Gaya Desain De Stijl.

Theo van Doesburg dan Vilmos Huszar. De Stijl. (Sampul majalah/1917).

Sumber: Steven Heller & Mirko Ilic, Icon of Graphic Design, Thames & Hudson, London, 2001

 

 

e. Bauhaus

(Dalam bahasa Jerman mempunyai arti: Bangunan Rumah/Building House). Sebuah sekolah desain Jerman yang mencoba menyatukan antara seni dan industri dengan menolak segala rupa bentuk-bentuk dekoratif dan teknik-teknik konstruksional. Didirikan di Weimar pada tahun 1919 oleh Walter Gropius, Bauhaus mencanangkan diri sebagai ‘bangunan yang lengkap untuk segala tujuan seni rupa’.

Gb. 13 Contoh Gaya Desain Bauhaus.

 

f. The New Typography

Sebuah pendekatan yang revolusioner terhadap desain tipografi yang dikembangkan di Eropa selama tahun 1920-an hingga awal 1930-an. Sebuah komponen penting dalam gerakan Modernisme dalam desain grafis, The New Typography menggabungkan unsur-unsur karya dan tulisan dari William Morris dengan ditambah aspek-aspek gerakan seni lainnya, seperti Cubism, Futurism, Dada, de Stijl dan Constructivism. Berawal di Rusia dan Jerman, gaya ini juga menarik para peminatnya di Belanda (Paul Schuitema, Piet Zwart), Cekoslovakia (Ladislav Sutnar) dan Polandia (Henryk Berlewi). Tokoh-tokoh dari gerakan ini adalah El Lissitzky, Laszlo Moholynagy dan Jan Tschichold. Lissitzky menolak bentuk-bentuk dekorasi dan memperjuangkan layout yang dinamis asimetris yang menampilkan bentuk-bentuk geometris dan typeface sans serif.

 

Gb. 14. Contoh Gaya Desain The New Typography

 

7. Art Deco

Sebuah gaya yang cenderung menampilkan kemewahan, yang mana menjadi gaya secara internasional yang muncul pada tahun 1918 – 1939 di dunia fashion, interior, arsitektur, keramik dan desain industri. Diberi nama seusai World’s Fair di Paris tahun 1925 (Exposition Internationale des Arts Decoratifs et Industriale Modernes). Menampilkan warna-warna yang cerah dan hidup diantara motif-motif floral, figuratif dan geometris.

 

Gb. 15. Contoh Gaya Desain Art Deco

 

8. Dada

Sebuah gerakan di dunia sastra dan seni yang berkembang di Swiss selama tahun 1916. Berawal dari keinginan merespon kemuraman masa Perang Dunia I, sekelompok penyair dan seniman ingin mencemooh nilai-nilai kemapanan. Dirintis oleh penyair Tristan Tzara dan Hugo Ball, seniman Hans Arp, gerakan ini dengan cepat merebak hingga ke kota-kota besar dunia seperti New York, Paris dan Berlin. Dada merupakan sebuah gaya yang menantang segala aturan-aturan sosial dan artistik yang baku. Gerakan ini menghilang di tahun 1922 dan menjadi pencetus aliran Surealisme yang muncul di Paris tahun 1924.

 

Gb. 16. Contoh Gaya Desain Dada

 

9.    Heroic Realism

10.Late Modern

a.    American Late Modern

b.    Swiss International Style

c.    Corporate Style

d.    Revivalism dan Ecleticism (Pembaharuan dan Pembebasan)

e.    Polish Poster (Poster Polandia)

f.     Psychedelic

g.    Japanese

 

11. Post-Modernisme

Sebuah gerakan di bidang desain yang tumbuh di pertengahan tahun 1960-an sebagai respon kritis atas dominasi dan kakunya aliran Modernisme. Dengan menerima bidang-bidang seni, arsitektur dan seni terapan, gerakan ini menyatakan ketertarikannya kembali pada ornamen, simbolisme dan humor visual. Terbebas dari ajaran-ajaran sebelumnya, para desainer post-modern menolak keinginan-keinginan aliran Modernisme dengan mengembangkan dan menantang  keyakinan-keyakinan dasar tentang keteraturan dan disiplin yang dianut oleh Bauhaus dan pengikutnya. Berdasarkan pada gerakan International Typographic Style di Swiss yang percaya pada ajaran yang menyatakan bahwa bentuk mengikuti fungsi, namun pada akhir 1960-an sebuah generasi baru desainer grafis Swiss menantang keterbatasan gaya yang selalu dapat diprediksikan. Kita tahu bahwa gaya dari desain era Bauhaus, de Stijl dan Contructivism adalah selalu matematis dan tertata rapi.

Di barisan terdepan gerakan ini terdapat Odermatt dan Tissi di Zurich dan Wolfgang Weingart di Basle. Sejak awal 1970-an pengaruh Weingart sebagai seorang pengajar meluas di Amerika Serikat, dengan penolakannya terhadap ajaran tipografer seperti Tschichold, Ruder dan Gerstner, dia menarik perhatian dan sekaligus kontroversi dalam penentuan nilai-nilai ini.

Dengan pendekatan yang cenderung eklektik (bebas) dan anarkis – yang juga dikenal sebagai New Wave – dengan legibilitas yang seringkali dikorbankan pada ekspresi, telah disebarluaskan di Amerika Serikat oleh mantan murid Basle seperti Daniel Friedman, April Greiman dan Inge Druckrey. Tekanan pada penemuan baru ini adalah pada intuisi dan potensi dari tipografi dan diterapkan di Inggris oleh Neville Brody, di Belanda oleh Studio Dumbar dan di Spanyol oleh Javier Mariscal dan Peret. Meskipun akhirnya diterapkan lebih menjadi sebuah gaya daripada sebuah aliran, post-modern memberikan arah baru pada masa depan perkembangan desain grafis.  Dengan memperluas ragam sumber bahan dari masa lalu yang tersedia bagi para desainer dan melalui kedekatannya dengan teknologi baru, pengaruhnya terasa begitu membebaskan dan positif.

a.    Punk

b.    New Wave (Gelombang Baru)

 

Older Entries